Jawaban Ringan :
Ketua RT kalau namanya MAMAT aja, tidak etis kalau lagi ada acara resmi dipanggil Mat ...Mat ..... Apalagi Kanjeng Rasulloh SAW, sekedar memanggil atau menyebut MUHAMMAD. Sekedar menyebutkan nama saja untuk seorang Kanjeng Rasululloh SAW bukan hanya Su'ul Adab atau tidak punya tata krama/sopan santun, tapi juga kurang ajar !!!
Jawaban Serius :
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan Allah SWT. Bahkan Allah SWT selaku Kholiq bersholawat kepada Makhluq-NYA yang bernama Rasululloh Nabi Muhammad SAW. Penyebutan kata Sayyidina adalah sebagai rasa Ta'zim atau hormat kepada beliau yang kelak akan memberikan Syafa'at Qubro. Untuk mengetahui dalil atau dasar menyebut SAYYIDINA kepada Kanjeng Rasululloh SAW seperti tulisan dibawah ini :
PENYEBUTAN KATA “SAYYIDINA” KEPADA NABI MUHAMMAD SAW ADALAH KEHARUSAN
Allah SWT berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63). Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Para sahabat pun menghormati keluarga Rosul dgn menyebut sayyidi
Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”.
Ini baru segelintir dalil yg dpt ana paparkan.msh bnyk dalil2 yg menjelaskan ttg keutamaan dan keharusan menyebut Nama Rosul didahului sebutan yg mulia.
ADAKAH BENAR ADA LARANGAN PENGUCAPAN LAFAL SAYYIDINA (DALAM & LUAR SHOLAT) ?
Benarkah ada hadis atau dalil yang melarang pengucapan lafal “Sayyidina” ? Jika memang ada, apakah juga berdampak membatalkan shalat dan juga mengakibatkan shalawat tidak terima Allah? Sungguh mengerikan!!
Ternyata, hadis yang biasa dikutip dan dijadikan dasar pelarangan “sayyidina” itu dalam shalat maupun shalawat adalah hadis “Laa tusayyiduuni fis sholat” (لا تسيدوني في الصلاة). Artinya, “Jangan kalian mengucapkan sayyidina kepadaku di dalam shalat”.
Bila hadis di atas dianalisis secara bahasa, dalam kajian ilmu sharaf, kata “sayyid” berasal dari “saywidah (سيودة)”, lalu huruf “wawu” pada kata itu ditukar ke huruf “ya” sehingga ada 2 huruf ya’ yang berjejer (سييودة). Karena itu, lalu kedua huruf ya’ itu diidghamkan (digabung). Akhirnya, menjadi kata “sayyid” (سيد). Oleh karena itu, yang benar seharusnya “laa tusawwiduuni (لا تسودوني)” bukan “tusayyiduni (لا تسيدوني)” sebab kata (سيودة) inilah yang merupakan akar kata dari “sayyid”.
Intinya, redaksi hadis “La tusayyiduuni (لا تسودوني)” itu sudah tidak tepat secara morfologis. Dengan kata lain, tidak mungkin Nabi Muhammad salah memilih kata, apalagi statemen itu terkait dengan hukum yang harus dituangkan dalam redaksi kalimat yang jelas, ringkas dan tidak boleh salah.
Selain dilihat dari analisis bahasa, hadis yang secara tektual melarang mengucapkan “sayyidina” dalam shalat itu, statusnya “Hadis Mawdu’ alias “Hadis Palsu” yang sanadnya tidak jelas, konteksnya tidak diketahui dan redaksi kalimat (matan)-nya juga salah. Hadis dhaif (lemah) saja tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam fiqih, terlebih lagi yang bersifat larangan yang bisa mengakibatkan batalnya shalat, apalagi hadis mawdu’ (palsu), maka jelas tidak bisa dipakai dasar hukum. Artinya, pihak-pihak atau kelompok yang anti-sayyidina dan berpijak pada hadis palsu ini, sungguh salah paham.
Mengutip pendapat Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ada 4 alasan untuk menolak pendapat yang melarang penyebutan “sayyidina”, yaitu:
1- Tidak ada keterangan tegas dan jelas tentang pelarangan tersebut.
2- Pihak yang berpendapat batalnya shalat akibat mengucapkan “sayyidina” adalah pihak yang tidak pernah mempunyai dasar hukum dan dalil.
3- Ketiga imam madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i) sepakat tentang disyariatkannya “sayyidina”.
4- Banyak ulama salaf (spt. al-Bakr bin Muhammad Syatha pengarang kitab I’anah, Imam al-Ramli penulis kitab Nihayah al-Muhtaj, dll) yang mengatakan bahwa hadis di atas (tentang larangan sayyidina) adalah hadis yang batal atau ditolak secara hukum.
Oleh karena, tidak masalah kita mengucapkan “Sayyidina Muhammad” baik di dalam maupun di luar shalat. Sama sekali tidak membatalkan shalat dan shalawat, juga tidak ada larangan tentang hal itu. Malahan, pengucapan “sayyidina” merupakan bagian dari penghormatan kita sebagai umat kepada junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw.
Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri mengatakan, “الأولي ذكر السيادة لأن الأفضل سلوك الأدب”. Artinya, yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi saw) karena ini adalah cara lebih utama dalam beradab kepada Nabi. (Hasyiyah al-Bajuri, I/156)
Perlu ditambahkan, hadis Nabi riwayat Abu Hurairah:
أنا سيد ولد آدم يوم القيامة، وأول من ينشق عنه القبر، وأول شافع وأول مشفع.
Artinya, “Aku adalah gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang pertama yang bangkit dari kubur, orang pertama yang memberi syafaat dan orang pertama yang diberi hak untuk memberikan syafaat” (Shahih Muslim, 4223)
Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sendiri menyebut pribadi beliau dengan “sayyid”, apalagi kita umatnya. Jelas, kita sangat dianjurkan menyebut gelar-gelar beliau sebelum namanya, walaupun beliau saw tidak memintanya.
Anehnya lagi, hadis riwayat Abu Hurairah di atas, yang jelas-jelas kualitasnya shahih, juga masih dikritik oleh pihak yang anti-sayyidina. Menurut mereka, Nabi menyebut dirinya sebagai sayyid itu adalah di akhirat, bukan di dunia. Jadi, kita semasih di dunia, tidak boleh menyebut sayyidina kepada beliau.
Benar-benar alasan yang aneh dan menggelikan. Untuk menjawab hal ini, Sayyid Muhammad Al-Maliki menegaskan, bahwa siyadah atau sayyid itu bukan khusus bagi Nabi di hari kiamat saja. Akan tetapi, Nabi adalah sayyid sejak di dunia hingga akhirat.
اَللَّهُمَّ صَلِِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَىآلِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
by : Generasi Salafus Sholeh
Siapa yang menginginkan husnul khatimah (mati dalam iman), jagalah selalu sangka baik kepada semua manusia. (Imam Syafi'i)
--------------------------------------
Rabu, 24 November 2010
HUKUM MEMBACA SAYYIDINA
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)
Para ulama terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A. Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B. Dasar Hukum Dari Hadis
1. Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a. Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b. Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c. Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat. (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2. Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra. menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3. Penambahan Lafaz Tahiyat
Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C. Dasar Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan, menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam
Catatan kaki :
[1] Maksudnya membenarkan kedatangan seorang Nabi yang diciptakan dengan kalimat Kun (jadilah) tanpa bapak, yaitu Nabi Isa as.
[2] Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287
[3] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[4] Mengandung Lahn maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab .