Jumat, 30 September 2016

Bid'ah Ke-17 : SAYYIDINA adalah kata yang Bid'ah. Alasannya Rasululloh tidak mau dipanggil seperti itu.



Jawaban Ringan :
Ketua RT kalau namanya MAMAT aja, tidak etis kalau lagi ada acara resmi dipanggil Mat ...Mat ..... Apalagi Kanjeng Rasulloh SAW, sekedar memanggil atau menyebut MUHAMMAD. Sekedar menyebutkan nama saja untuk seorang Kanjeng Rasululloh SAW bukan hanya Su'ul Adab atau tidak punya tata krama/sopan santun, tapi juga kurang ajar !!!

Jawaban Serius :
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan Allah SWT. Bahkan Allah SWT selaku Kholiq bersholawat kepada Makhluq-NYA yang bernama Rasululloh Nabi Muhammad SAW. Penyebutan kata Sayyidina adalah sebagai rasa Ta'zim atau hormat kepada beliau yang kelak akan memberikan Syafa'at Qubro. Untuk mengetahui dalil atau dasar menyebut SAYYIDINA kepada Kanjeng Rasululloh SAW seperti tulisan dibawah ini :
PENYEBUTAN KATA “SAYYIDINA” KEPADA NABI MUHAMMAD SAW ADALAH KEHARUSAN

Allah SWT berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63). Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas.


Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.

Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.

Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.

Firman-firman Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.

Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.

Para sahabat pun menghormati keluarga Rosul dgn menyebut sayyidi

Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.

Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”.

Ini baru segelintir dalil yg dpt ana paparkan.msh bnyk dalil2 yg menjelaskan ttg keutamaan dan keharusan menyebut Nama Rosul didahului sebutan yg mulia.

ADAKAH BENAR ADA LARANGAN PENGUCAPAN LAFAL SAYYIDINA (DALAM & LUAR SHOLAT) ?

Benarkah ada hadis atau dalil yang melarang pengucapan lafal “Sayyidina” ? Jika memang ada, apakah juga berdampak membatalkan shalat dan juga mengakibatkan shalawat tidak terima Allah? Sungguh mengerikan!!

Ternyata, hadis yang biasa dikutip dan dijadikan dasar pelarangan “sayyidina” itu dalam shalat maupun shalawat adalah hadis “Laa tusayyiduuni fis sholat” (لا تسيدوني في الصلاة). Artinya, “Jangan kalian mengucapkan sayyidina kepadaku di dalam shalat”.

Bila hadis di atas dianalisis secara bahasa, dalam kajian ilmu sharaf, kata “sayyid” berasal dari “saywidah (سيودة)”, lalu huruf “wawu” pada kata itu ditukar ke huruf “ya” sehingga ada 2 huruf ya’ yang berjejer (سييودة). Karena itu, lalu kedua huruf ya’ itu diidghamkan (digabung). Akhirnya, menjadi kata “sayyid” (سيد). Oleh karena itu, yang benar seharusnya “laa tusawwiduuni (لا تسودوني)” bukan “tusayyiduni (لا تسيدوني)” sebab kata (سيودة) inilah yang merupakan akar kata dari “sayyid”.

Intinya, redaksi hadis “La tusayyiduuni (لا تسودوني)” itu sudah tidak tepat secara morfologis. Dengan kata lain, tidak mungkin Nabi Muhammad salah memilih kata, apalagi statemen itu terkait dengan hukum yang harus dituangkan dalam redaksi kalimat yang jelas, ringkas dan tidak boleh salah.

Selain dilihat dari analisis bahasa, hadis yang secara tektual melarang mengucapkan “sayyidina” dalam shalat itu, statusnya “Hadis Mawdu’ alias “Hadis Palsu” yang sanadnya tidak jelas, konteksnya tidak diketahui dan redaksi kalimat (matan)-nya juga salah. Hadis dhaif (lemah) saja tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam fiqih, terlebih lagi yang bersifat larangan yang bisa mengakibatkan batalnya shalat, apalagi hadis mawdu’ (palsu), maka jelas tidak bisa dipakai dasar hukum. Artinya, pihak-pihak atau kelompok yang anti-sayyidina dan berpijak pada hadis palsu ini, sungguh salah paham.

Mengutip pendapat Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ada 4 alasan untuk menolak pendapat yang melarang penyebutan “sayyidina”, yaitu:

1- Tidak ada keterangan tegas dan jelas tentang pelarangan tersebut.
2- Pihak yang berpendapat batalnya shalat akibat mengucapkan “sayyidina” adalah pihak yang tidak pernah mempunyai dasar hukum dan dalil.
3- Ketiga imam madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i) sepakat tentang disyariatkannya “sayyidina”.
4- Banyak ulama salaf (spt. al-Bakr bin Muhammad Syatha pengarang kitab I’anah, Imam al-Ramli penulis kitab Nihayah al-Muhtaj, dll) yang mengatakan bahwa hadis di atas (tentang larangan sayyidina) adalah hadis yang batal atau ditolak secara hukum.

Oleh karena, tidak masalah kita mengucapkan “Sayyidina Muhammad” baik di dalam maupun di luar shalat. Sama sekali tidak membatalkan shalat dan shalawat, juga tidak ada larangan tentang hal itu. Malahan, pengucapan “sayyidina” merupakan bagian dari penghormatan kita sebagai umat kepada junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw.

Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri mengatakan, “الأولي ذكر السيادة لأن الأفضل سلوك الأدب”. Artinya, yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi saw) karena ini adalah cara lebih utama dalam beradab kepada Nabi. (Hasyiyah al-Bajuri, I/156)

Perlu ditambahkan, hadis Nabi riwayat Abu Hurairah:

أنا سيد ولد آدم يوم القيامة، وأول من ينشق عنه القبر، وأول شافع وأول مشفع.

Artinya, “Aku adalah gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang pertama yang bangkit dari kubur, orang pertama yang memberi syafaat dan orang pertama yang diberi hak untuk memberikan syafaat” (Shahih Muslim, 4223)

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sendiri menyebut pribadi beliau dengan “sayyid”, apalagi kita umatnya. Jelas, kita sangat dianjurkan menyebut gelar-gelar beliau sebelum namanya, walaupun beliau saw tidak memintanya.

Anehnya lagi, hadis riwayat Abu Hurairah di atas, yang jelas-jelas kualitasnya shahih, juga masih dikritik oleh pihak yang anti-sayyidina. Menurut mereka, Nabi menyebut dirinya sebagai sayyid itu adalah di akhirat, bukan di dunia. Jadi, kita semasih di dunia, tidak boleh menyebut sayyidina kepada beliau.

Benar-benar alasan yang aneh dan menggelikan. Untuk menjawab hal ini, Sayyid Muhammad Al-Maliki menegaskan, bahwa siyadah atau sayyid itu bukan khusus bagi Nabi di hari kiamat saja. Akan tetapi, Nabi adalah sayyid sejak di dunia hingga akhirat.

اَللَّهُمَّ صَلِِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَىآلِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

by : Generasi Salafus Sholeh
Siapa yang menginginkan husnul khatimah (mati dalam iman), jagalah selalu sangka baik kepada semua manusia. (Imam Syafi'i)

--------------------------------------

Rabu, 24 November 2010
HUKUM MEMBACA SAYYIDINA

Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)

Para ulama  terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.                                     
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.       
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A.    Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.           (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ                                       
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B.     Dasar Hukum Dari Hadis
1.      Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a.      Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b.      Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c.      Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan               al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .        
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.               (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2.      Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra.  menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3.      Penambahan Lafaz Tahiyat
            Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….

…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).                                                                                                      
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C.    Dasar  Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.            
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam

Catatan kaki :
[1] Maksudnya membenarkan kedatangan seorang Nabi yang diciptakan dengan kalimat Kun (jadilah) tanpa bapak, yaitu Nabi Isa as.
[2] Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287
[3] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[4] Mengandung Lahn maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab .

Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Pustaka Pejaten :
Ahlus Sunnah wal Jama'ah (ASWAJA)

Ciri Ciri Wahabi (Salafi) :

AQIDAH :
1. Membagi Tauhid menjadi 3 bagian yaitu :
(a). Tauhid Rububiyyah: Dengan tauhid ini, mereka mengatakan bahwa kaum musyrik Mekah dan orang-orang kafir juga mempunyai tauhid;
(b). Tauhid Uluhiyyah: Dengan tauhid ini, mereka menafikan tauhid umat Islam yang bertawassul, beristigathah dan bertabarruk sedangkan ketiga-tiga perkara tersebut diterima oleh jumhur ulama‟ Islam khasnya ulama‟ empat Imam madzhab;
(c.) Tauhid Asma’ dan Sifat : Tauhid versi mereka ini bisa menjerumuskan umat islam ke lembah tashbih dan tajsim kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala seperti :

Menterjemahkan istiwa’ sebagai bersemayam/bersila
Menterjemahkan yad sebagai tangan
Menterjemahkan wajh sebagai muka
Menisbahkan jihah (arah) kepada Allah (arah atas – jihah ulya)
Menterjemah janb sebagai lambung/rusuk
Menterjemah nuzul sebagai turun dengan dzat
Menterjemah saq sebagai betis
Menterjemah ashabi’ sebagai jari-jari, dll
Menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai “surah” atau rupa
Menambah bi dzatihi haqiqatan [dengan dzat secara hakikat] di akhir setiap ayat-ayat mutashabihat;

2. Memahami ayat-ayat mutashabihat secara zhahir tanpa penjelasan terperinci dari ulama-ulama yang mu’tabar;
3. Menolak asy-Sya’irah dan al-Maturidiyah yang merupakan ulama’ Islam dalam perkara Aqidah yang diikuti mayoritas umat islam;
4. Sering mengkrititik asy-Sya’irah bahkan sehingga mengkafirkan asy-Sya’irah;
5. Menyamakan asy-Sya’irah dengan Mu’tazilah dan Jahmiyyah atau Mu’aththilah dalam perkara mutashabihat;
6. Menolak dan menganggap tauhid sifat 20 sebagai satu konsep yang bersumberkan falsafah Yunani dan Greek;
7. Berselindung di sebalik Mazhab Salaf;
8. Golongan mereka ini dikenal sebagai al-Hasyawiyyah, al-Musyabbihah, al-Mujassimah atau al Jahwiyyah dikalangan ulama’ Ahli Sunnah wal Jama’ah;
9. Sering menuduh bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari telah kembali ke Mazhab Salaf setelah bertaubat dari mazhab asy-Sya’irah. Menuduh ulama’ asy-Sya’irah tidak betul-betul memahami faham Abu Hasan Al-Asy’ari;
10. Menolak ta’wil dalam bab Mutashabihat;
11. Sering menuduh bahwa mayoritas umat Islam telah jatuh kepada perbuatan syirik;
12. Menuduh bahwa amalan memuliakan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam [Membaca Maulid dll] membawa kepada perbuatan syirik;
13. Tidak mengambil pelajaran sejarah para anbiya’, ulama’ dan sholihin dengan
dalih menghindari syirik;
14. Pemahaman yang salah tentang makna syirik, sehingga mudah menghukumi orang sebagai pelaku syirik;
15. Menolak Tawassul, Tabarruk dan Istighathah dengan para anbiya’ serta sholihin;
16. Mengganggap Tawassul, Tabarruk dan Istighathah sebagai cabang-cabang syirik.
17. Memandang remeh karomah para wali [auliya’];
18. Menyatakan bahwa ibu bapa dan datuk Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak selamat dari adzab api neraka ;
19. Mengharamkan mengucap “radhiallahu ‘anha” untuk ibu Rosulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam, Sayyidatuna Aminah.

SIKAP :
1. Sering membid’ahkan amalan umat Islam bahkan sampai ke tahap mengkafirkan
mereka;
2. Mengganggap diri sebagai mujtahid atau berlagak sepertinya (walaupun tidak layak);
3. Sering mengambil hukum secara langsung dari al-Qur’an dan hadits (walaupun tidak layak);
4. Sering mentertawakan dan meremehkan ulama’ pondok dan golongan agama yang lain;
5. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang ditujukan kepada orang kafir sering ditafsirkan kepada orang Islam;
6. Memaksa orang lain berpegang dengan pendapat mereka walaupun pendapat itu syaz (janggal);

HADITS :
1. Menolak beramal dengan hadis dho’if.
2. Penilaian hadits yang tidak sama dengan penilaian ulama’ hadits yang lain.
3. Mengagungkan Nasiruddin al-Albani di dalam bidang ini [walaupun beliau tidak
mempunyai sanad bagi menyatakan siapakah guru-guru beliau dalam bidang hadits.
[Bahkan mayoritas muslim mengetahui bahwa beliau tidak mempunyai guru dalam bidang hadits dan diketahui bahwa beliau belajar hadits secara sendiri (autodidak) dan ilmu jarh dan ta’dil beliau adalah mengikut Imam al-Dhahabi] ;
4. Sering menganggap hadits dho’if sebagai hadits maudhu’ [mereka mengumpulkan hadits dho’if dan palsu di dalam satu kitab atau bab seolah-olah kedua-dua kategori hadits tersebut adalah sama] ;
5. Pembahasan hanya kepada sanad dan matan hadits, dan bukan pada makna hadits. Oleh karena itu, pebedaan pemahaman ulama’ [syawahid] dikesampingkan.

QUR’AN :
1. Menganggap tajwid sebagai ilmu yang menyusahkan dan tidak perlu (Sebagian Wahabi Indonesia yang jahil).
Catatan Tambahan : Pantas baca Al Qur'annya tidak fasih, maunya jadi Imam Sholat.


FIQH :
1. Menolak mengikuti madzhab imam-imam yang empat; pada hakikatnya
mereka bermadzhab “TANPA MADZHAB” alias "MADZHAB DJAHIRIYAH"
2. Mencampuradukkan amalan empat mazhab dan pendapat-pendapat lain sehingga membawa kepada talfiq [mengambil yang disukai] haram ;
3. Memandang amalan bertaqlid sebagai bid’ah; mereka mengklaim dirinya berittiba’ ;
4. Sering mengungkit dan mempermasalahkan soal-soal khilafiyyah dan furu'iyyah ;
5. Sering menggunakan dakwaan ijma’ ulama dalam masalah khilafiyyah dan furu'iyyah ;
6. Menganggap apa yang mereka amalkan adalah sunnah dan pendapat pihak lain adalah Bid’ah ;
7. Sering menuduh orang yang ber-Madzhab sebagai ta’assub [fanatik] madzhab;
8. Salah faham makna bid'ah yang menyebabkan mereka mudah membid'ahkan orang lain;
9. Mempromosikan Madzhab Fiqh baru yang dinamakan sebagai Fiqh al-Taysir, Fiqh al-Dalil, Fiqh Musoffa, dll [yang jelas keluar daripada fiqh empat mazhab] ;
10. Sering mewar-warkan agar hukum ahkam fiqh dipermudahkan dengan menggunakan hadis “Yassiru wa la tu’assiru, farrihu wa la tunaffiru” ;
11. Sering mengatakan bahwa fiqh empat madzhab telah ketinggalan zaman alias usang ;

NAJIS :
1. Sebagian mereka sering mempermasalahkan dalil akan kedudukan babi sebagai najis mughallazhah ;
2. Menyatakan bahwa bulu babi itu tidak najis karena tidak ada darah yang mengalir;

WUDHU’
1. Tidak menerima konsep air musta’mal ;
2. Bersentuhan lelaki dan perempuan tidak membatalkan wudhu’ ;
3. Membasuh kedua belah telinga dengan air basuhan rambut dan tidak dengan air yang baru ;

ADZAN :
1. Adzan Jum’at sekali; adzan kedua ditolak dan dibilang Bid'ah ;

SHALAT :
1. Mempromosikan “Sifat Shalat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam‟, dengan alasan kononnya shalat berdasarkan fiqh madzhab adalah bukan sifat shalat Nabi yang benar;
2. Menganggap melafazhkan kalimat “usholli” sebagai bid’ah sesat dan masuk neraka ;
3. Berdiri dengan kedua kaki mengangkang dan berusaha menghubungkan kedua kakinya dengan sebelahnya, baik kanan dan kiri ;
4. Tidak membaca “Basmalah‟ secara jahar ketika membaca Surat Al-Fatihah ;
5. Menggangkat tangan sewaktu takbir sejajar bahu atau di depan dada ;
6. Meletakkan tangan di atas dada sewaktu qiyam. Persis seperti patung2 Jaman Jahiliyyah latta dan Ujjah ;
7. Menganggap perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam shalat sebagai perkara bid'ah (sebagian Wahabiyyah Indonesia yang jahil).
8. Menganggap QUNUT SUBUH sebagai BID'AH yang masuk neraka jahanam ; 
9. Menggangap penambahan “wa bihamdihi” pada tasbih ruku’ dan sujud adalah bid’ah;
10. Menganggap mengusap muka selepas shalat sebagai bid’ah ;
11. Shalat tarawih hanya 8 rakaat; mereka juga mengatakan shalat tarawih itu
sebenarnya adalah shalat malam (shalatul-lail) seperti pada malam-malam lainnya. Sementara di Makkah dan Madinah (sebagai kiblat Salafi dan Wahabi) lebih dari 20 Rakaat;
12. Dzikir jahr di antara rakaat-rakaat shalat tarawih dianggap bid’ah ;
13. Tidak ada Qodha’ bagi shalat yang sengaja ditinggalkan. Cukup berdo'a minta ampunan kepada Tuhan;
14. Menganggap amalan bersalaman selepas shalat adalah bid’ah;
15. Menggangap lafazh sayyidina (taswid) dalam shalat sebagai bid’ah;
16. Menggerak-gerakkan jari sewaktu tasyahud awal dan akhir;
17. Boleh jama’ dan qashar walaupun kurang dari dua marhalah (80 Km) ;
18. Memakai sarung atau celana setengah betis (celana cingkrang) untuk menghindari isbal;
19. Menolak shalat sunnat Qabliyyah atau sebelum Jum’at
20. Menjama’ shalat sepanjang semester pengajian, karena mereka berada di landasan Fisabilillah


DO’A, DZIKIR DAN BACAAN AL-QUR’AN :
1. Menggangap do’a berjama’ah selepas shalat sebagai bid’ah;
2. Menganggap dzikir dan wirid berjama’ah sebagai bid’ah;
3. Mengatakan bahwa membaca “Sodaqallahul ‘azhim” selepas bacaan al-Qur’an adalah Bid’ah;
4. Menyatakan bahwa do’a, dzikir dan shalawat yang tidak ada dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai bid’ah. Sebagai contoh mereka menolak Dala’il al-Khairat, Shalawat al-Syifa‟, al-Munjiyah, al-Fatih, Nur al-Anwar, al-Taj, dll.
5. Menganggap amalan bacaan Yasin pada malam Jum’at sebagai bid’ah yang haram dan masuk neraka ;
6. Mengatakan bahwa sedekah atau pahala tidak sampai kepada orang yang telah wafat ;
7. Mengganggap penggunaan tasbih adalah bid’ah;
8. Mengganggap dzikir dengan bilangan tertentu seperti 1000 (seribu), 10,000 (sepuluh ribu), dll sebagai bid’ah;
9. Menolak amalan ruqiyyah syar’iyah dalam pengobatan Islam seperti wafa‟, azimat, dll;
10. Menolak dzikir isim mufrad : Allah... Allah.
11. Melihat bacaan YASIN pada malam NISFU SYA'BAN sebagai bid’ah yang haram ;
12. Sering menafikan dan memperselisihkan keistimewaan bulan Rajab dan Sya’ban;
13. Sering mengkritik keutamaan malam Nisfu Sya’ban;
14. Mengangkat tangan sewaktu berdoa’ adalah bid’ah;
15. Mempermasalahkan kedudukan Shalat Sunat Tasbih;


PENGURUSAN JENAZAH DAN KUBUR :
1. Menganggap amalan menziarahi maqam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para anbiya’, awliya’, ulama’ dan sholihin sebagai bid’ah dan shalat tidak boleh dijama’ atau qasar dalam ziarah seperti ini;
2. Mengharamkan wanita menziarahi kubur;
3. Menganggap talqin sebagai bid’ah;
4. Mengganggap amalan tahlil dan bacaan Yasin bagi kenduri arwah sebagai bid’ah yang haram;
5. Tidak membaca do’a selepas shalat jenazah karena dianggap sudah putus antara orang mati dengan yang masihhidup;
6. Sebagian ulama’ mereka menyeru agar Maqam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikeluarkan dari masjid nabawi atas alasan menjauhkan umat Islam dari syirik ;
7. Menganggap kubur yang bersebelahan dengan masjid adalah bid’ah yang haram ;
8. Do’a dan bacaan al-Quran di perkuburan dianggap sebagai bid’ah ;


MUNAKAHAT [PERNIKAHAN] :
1. Talak tiga (3) dalam satu majlis adalah talak satu (1)


MAJLIS SAMBUTAN BERAMAI-RAMAI :
1. Menolak peringatan Maulid Nabi; bahkan menyamakan sambutan Maulid Nabi dengan perayaan Kristen bagi Nabi Isa as;
2. Menolak amalan marhaban para habaib;
3. Menolak amalan barzanji;
4. Berdiri ketika bacaan maulid adalah bid’ah;
5. Menolak peringatan Isra’ Mi’raj, dll.

HAJI DAN UMRAH :
1. Mencoba untuk memindahkan “Maqam Ibrahim as.” namun usaha tersebut telah digagalkan oleh al-Marhum Sheikh Mutawalli Sha’rawi saat beliau menemuhi Raja Faisal ketika itu ;
2. Menghilangkan tanda telaga zam-zam ;
3. Mengubah tempat sa’i di antara Sofa dan Marwah yang mendapat tentangan ulama’ Islam dari seluruh dunia.

PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN :
1. Maraknya para professional yang bertitle LC menjadi “ustadz-ustadz‟ mereka (di Indonesia) ;
2. Ulama-ulama yang sering menjadi rujukan mereka adalah :
a. Ibnu Taymiyyah al-Harrani
b. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
c. Muhammad bin Abdul Wahhab
d. Sheihk Abdul Aziz bin Baz
e. Nasiruddin al-Albani
f. Sheikh Sholeh al-Utsaimin
g. Sheikh Sholeh al-Fawzan
h. Adz-Dzahabi dll.

3. Sering mendakwahkan untuk kembali kepada al-Qura’an dan Hadits (tanpa menyebut para ulama’, sedangkan al-Qura’n dan Hadits sampai kepada umat Islam melalui para ulama’ dan para ulama’ juga lah yang memelihara dan menjabarkan kandungan al-Qur’an dan Hadits untuk umat ini) ;
4. Sering mengkritik Imam al-Ghazali dan kitab “Ihya’ Ulumuddin” ;


PENGKHIANATAN MEREKA KEPADA UMAT ISLAM :
1. Bersekutu dengan Inggris dalam menjatuhkan kerajaan Islam Turki Utsmaniyyah ;
2. Melakukan perubahan kepada kitab-kitab ulama’ yang tidak sehaluan dengan mereka ;
3. Banyak ulama’ dan umat Islam dibunuh sewaktu kebangkitan mereka di timur tengah ;
4. Memusnahkan sebagian besar peninggalan sejarah Islam seperti tempat lahir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meratakan maqam al-Baqi’ dan al-Ma’la [makam para isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Baqi’, Madinah dan Ma’la, Mekah], tempat lahir Sayyiduna Abu Bakar dll, dengan hujjah tempat tersebut bisa membawa kepada syirik;
5. Di Indonesia, sebagian mereka dalu dikenali sebagai Kaum Muda atau Mudah [karena hukum fiqh mereka yang mudah, ia merupakan bentuk ketaatan bercampur dengan kehendak hawa nafsu].


TASAWWUF DAN THARIQAT :
1. Sering mengkritik aliran Sufisme dan kitab-kitab sufi yang mu’tabar ;
2. Sufiyyah dianggap sebagai kesamaan dengan ajaran Budha, Hindu dan Nasrani ;
3. Tidak dapat membedakan antara amalan sufi yang benar dan amalan bathiniyyah yang sesat ;

Wallahu a’lam bish-Showab wal hadi ila sabilil haq.

Kamis, 29 September 2016

Bid'ah Ke-16 : Tidak Memakai Celana Cingkrang atau Isbal Dalam Sholat Masuk Neraka.



Jawaban Ringan :
Tidak pernah terdengar orang pakai celana panjang melewati mata kaki dianggap SOMBONG. Simbol kesombongan adalah : Rumah mewah, mobil banyak,  istri cantik atau suami ganteng, kedudukan di kantor, dan lain sebagainya. Kalau celana kepanjangan tinggal gulung aja 1 atau 2 gulungan selesai urusannya. 

Jawaban Serius : 
Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud).

Isbal adalah memanjangkan (sarung/celana) panjang di bawah mata kaki hingga menyentuh tanah. Bagaimana sebab musababnya sampai Isbal di atur dalam Fiqih ? Lalu apakah seorang Muslim yang menjalankan praktek  Isbal akan masuk neraka ? Mari kita ikuti asal usulnya. Dahulu dizaman nabi terdapat kondisi dimana dalam masyarakat tersebut dilanda kemiskinan. Mereka tidak punya pakaian yang layak. Kebanyakan mereka memakai pakaian yang terbuat dari kulit kambing. Karena keadaan mereka sangat miskin, merekapun membuat celana dengan bahan yang terbatas hanya sampai 3/4 bagian kaki, yang penting aurat tertutup. Kemudian ketika sedang Sholat berjamaah di Masjid masyarakat tersebut, datangnya orang kaya raya yang mengenakan celana yang panjang dan sampai menyusuri tanah dengan maksud menyombongkan diri. Dari peristiwa tersebut, penduduk setempat  mengadukan perkara ini kepada Rasululloh Muhammad SAW, lalu keluarlah sabda Rasululloh Muhammad SAW, " Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat", inilah Asbabul Wurud atau sebab musabab Rasululloh Muhammad SAW mengeluarkan Hadits ini. Oleh sebab itu janganlah menafsirkan Hadits secara harfiah. Fiqih yang tercantum dalam Hadirts tersebut bersifat kontektual dan fleksibel. Sebab kita harus paham sebab musabab atau asbabul wurud terbitnya Hadits tersebut. 

Apalagi kalau kita memutar waktu ke belakang perihal penggunaan pakaian yang hanya menggunakan kulit kambing. Dahulu kala ketika  jaman neneng moyang kita, selembar kain bisa ditukar dengan pekarangan karena pada saat itu pakaian memang sangat mahal dan masih sedikit. Itu baru 100 tahunan yang lalu. Apalagi jika itu terjadi di abad ke-6, betapa berharganya pada saat itu, wajar kalau memanjangkan pakaian dianggap sifat  sombong. Kalau sekarang berbeda, bahan pakaian melimpah ruah, amat sangat mudah diperoleh dan harganya terjangkau oleh masyarakat miskin sekalipun. Yang justru terjadi sekarang ini orang yang menggunakan celana cingkrang merasa paling syar'i dan sinis kepada yang tidak memakai celana cingkrang. Apakah itu bukan bentuk baru dari kesombongan ? Dengan demikian menggunakan Celana atau sarung bagi laki-laki sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang agama. 

Kalau menelaah Hadits tersebut diatas, Isbal tidak haram dan faktor keharamannya adalah sombong. Isbal merupakan adat orang arab. Dahulu di Arab memang Isbal adalah anggapan untuk orang sombong. Tapi di Indonesia tidak ada adat yang menyebutkan Isbal itu sombong. Justru simbol kesombongan di Indonesia antara lain : mobil mewah, rumah mewah, istri cantik atau suami tampan, status sosial, jabatan mentereng, penghasilan tinggi, hidup tajir, membangga banggakan keilmuannya secara berlebihan. Hampir tidak pernah terdengar, orang memakai celana panjang, gamis atau sarung sampai menjuntai ke tanah, di cap sebagai orang sombong.     Jadi orang Indonesia yang memanjangkannya tidak ada yang beralasan sombong. 

Penggunaan celana menjuntai ke tanah hanya dikhawatirkan  akan terkena najis berupa kotoran binatang yang akan membuat tidak sahnya Wudhu. Kalau Wudhu nya tidak sah, maka tidak sah pula Shalatnya. Namun demikian di jaman sekarang celana menjuntai ketanah bisa di siasati dengan menggunakan sepatu atau sandal. Bahkan ketika Sholat cukup digulung 1 atau 2 gulungan, jadilah celana cingkrang.  Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilahkan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib untuk laki laki harus menutup bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

Demikian penjelasan Isbal untuk menjawab pendapat ektrim yang mudah sekali mencap masuk neraka manakala Sholat dengan Isbal. Sekali lagi, belajarlah Fiqih dengan Kitab Fiqih yang jelas dan dengan Ustadz atau 'Ulama yang mumpuni juga.
Untuk memahami pengertian Isbal secara komprehensif, maka silahkan baca artikel dibawah ini.

by : Ali Wahyudin ; disarikan dari berbagai sumber 
-------------------------------------
Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah ;

Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud).
 
Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan baginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.
 
Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.
 
Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33)
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33)
 
1. Memelihara Jenggot
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442)
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)
 
Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
 
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)
 
Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.
 
Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)
 
Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
 
Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)
 
2.Memakai Celana Cingkrang
Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)
 
Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)
 
Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.
 
Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)
 
Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini, mobil mewah, istri cantik atau suami tampan bak selebritis, rumah mewah atau kekayaan lain yang merupakan simbol kesombongan kekinian.  Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.
 
Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)
 
Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.
 
3. Memakai Cadar
Firman Allah SWT:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ (النور، 31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31).
 
Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan.
 
Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.
 
Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).
 
Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 )
 
Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)
 
Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.
 
Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.
 
Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya? ”
by : Ali Wahyudin ;  disarikan dari berbagai sumber

Rabu, 28 September 2016

Bid'ah Ke-15 : Haul. Peringatan Kematian atau Haul merupakan sesuatu yang sia-sia bahkan haram. Sebab kalau sudah meninggal tidak ada lagi urusannya dengan yang masih hidup.

Bid'ah Ke-15 : Haul. 
Peringatan Kematian atau Haul merupakan sesuatu yang sia-sia bahkan haram. Sebab kalau sudah meninggal tidak ada lagi urusannya dengan yang masih hidup. 

Jawaban Ringan :
Kemerdekaan suatu negara saja diperingati bangsanya. Kok gak dibilang bid'ah ya ? Lah kalau do'a dalam pelaksanaan Haul tidak sampai ? Apakah ada laporannya dari alam Qubur yang menyatakan tidak diterima do'a Haul keluarganya. Jadi kalau dianggap sia sia coba mati dulu nanti kita do'akan dan terus balik lagi ke dunia untuk memberikan laporan, apakah do'a yang masih hidup didunia diterima atau tidak.

Jawaban Serius :
Sekiranya Haul tidak akan diterima, apakah almarhum/almarhumah yang meninggal dunia kita do'akan masuk neraka, kira kira tersinggung tidak ahli warisnya ? Kalau tersinggung berarti dia menyakini bahwa do'a tersebut sampai. Ini landasan dalil pelaksanaan Haul.
Haul Tidak Menjadi Ibadah Yang Bernilai Bid'ah. 

A. Pengertian Haul

Secara bahasa haul adalah setahun. Sedangkan secara istilah adalah peringatan satu tahun meninggalnya seseorang. Haul merupakan tradisi tahunan yang dilakukan mayoritas umat muslim Indonesia untuk mengenang jasa-jasa ulama, kiai, tokoh masyarakat dan anggota keluarga.
Pembacaan biografi atau manaqib, surat Yasin, tahlil, ceramah agama dan sedekah merupakan rentetan kegiatan yang dilaksanakan pada acara haul. Di pesantren-pesantren, pelaksanaan haul telah menjadi tradisi yang bertujuan untuk mengenang dan mendoakan para pendiri dan pengasuh pesantren yang telah wafat serta untuk meneladani perilaku-perilaku baiknya yang dapat diketahui ketika pembacaan biografi.

B. Dasar Perayaan Haul
Ketika umat islam dihadapkan dengan suatu persoalan, maka cara memecahkannya adalah dengan mencari jawaban di dalam al-Quran. Jika tidak menemukan di dalam al-Quran, maka harus mencari di dalam hadist. Jika tidak menemukan di dalam hadist, maka harus melakukan ijtihad. Runtutan dalil ini berdasarkan hadist Muadz bin Jabal ketika akan diutus oleh Rasulullah ke Yaman yaitu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو…..

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukumi suatu perkara yang datang kepadamu?”. Ia (Mu’adz) menjawab : “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau :“Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?” Ia menjawab : “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda :“Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…” (HR. Baihaqi)

Berkenaan dengan perayaan haul, setelah melakukan pencarian dalil, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang perayaan haul. Dalam al-Quran hanya ada kata haul untuk persoalan zakat dan masa menyusui, akan tetapi dalam hadist Nabi, ada sebuah penjelasan yang dapat dijadikan sebagai dasar keabsahan perayaan haul yaitu:

 كان النبى، – صلى الله عليه وسلم – ، يأتى قبور الشهداء عند رأس الحول، فيقول: « السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار » . وكان أبو بكر، وعمر، وعثمان يفعلون ذلك

“Rasulullah SAW pada setiap setahun sekali berziarah ke makam para shuhada’, dan, beliau berkata dengan “Salamun ‘alaikum bimaa shobartum fa ni’ma ‘uqbad dar”. Abu Bakar  juga melakukan seperti itu setiap tahun, demikian juga Umar bin Khothob dan Utsman bin Affan.” (HR. Bukhari)

Rasulullah datang ke makam syuhada` pada tiap tahun dalam rangka mendo`akan para ahli kubur. Hal ini tidak jauh beda dengan tradisi haul yang ada di Indonesia, yang tujuan perayaannya adalah untuk mendo`akan ulama, kiai ataupun tokoh yang dihauli.

C. Rangkaian Acara pada Perayaan Haul Beserta Dalil-Dalilnya

Dalam perayaan haul ada beberapa rangkaian acara. Mulai dari pembacaan manaqib kiai atau ulama yang dihauli, pembacaan tahlil, surat Yasin, ceramah agama dan pemberian sedekah. Semua rangkaian acara tersebut memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan secara detail satu persatu dari rangkaian acara tersebut sebagai berikut:

Pembacaan Manaqib
Manaqiban adalah upacara pembacaan biografi dan keutamaan wali Allah yang menjadi panutan umat. Dalam acara tersebut juga diselingi dengan pembacaa al-fatihah, ayat-ayat al-Quran dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya dihadiahkan kepada wali yang bersangkutan.

Disebagian daerah pulau Jawa dan Jambi ada yang mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri tareqat  Qadiriyah. Di daerah Kalimantan Selatan banyak yang mengadakan manaqiban Syaikh Muhammad bin Abdul karim al-Samman pendiri tareqat al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban sangat baik untuk dilakukan, agar perjuangan dan perjalanan hidup para wali dapat kita hayati bersama.(Muhammad Idrus Ramli, 2010: 66-67).

Ulama menjelaskan bahwa dalam mengenang orang-orang saleh, dapat menurunkan rahmat Allah SWT. Sebagaimana dalam konteks ini Imam Sufyan bin ‘Uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata;

عن محمد بن حسان قال سمعت ابن عيينة يقول عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة

“Muhammad bin Hassan berkata; Aku pernah mendengar Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “ketika orang-orang saleh dikenang, maka rahmat Allah akan turun.”(Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asbahani, 2000: 285)

Bahkan lebih tegas lagi, Syaikh Ibn Taimiyah mengakui bahwa termasuk tradisi kaum beriman yaitu merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan orang-orang saleh, sebagaimana beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Shafadiyyah.

2. Pembacaan Tahlil
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua perbuatan yang belum dikerjakan pada masa Rasulullah adalah dilarang untuk dikerjakan. Misalnya pelaksanaan sholat tarawih secara berjamaah sebulan penuh, pelaksanaan sholat jum`at lebih dari dua tempat dalam satu desa, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf, adzan pertama pada hari jumat dan lain sebagainya.

Semua perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun dilakukan oleh generasi setelah Rasulullah, karena tidak bertentangan dengan prinsip dan inti ajaran islam. (Muhyiddin Abdusshomad , 2010: 223)

Demikian pula dengan tradisi berkumpul untuk tahlilan yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat islam di Indonesia. Meskipun tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun perkumpulan untuk tahlilan tersebut dibolehkan, karena tidak satupun ada unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran islam.

Sebagaimana dikatakan oleh As-Syaukani bahwa kebiasaan sebagian masyarakat di suatu negara melakukan perkumpulan di masjid, rumah maupun di kuburan, untuk membaca al-Quran dan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah mati, hukumnya adalah boleh. Hukum boleh ini berlaku selama tidak ada kemungkaran dan kemaksiatan, meskipun tidak ada penjelasan secara dhahir dari syariat.

Selanjutnya As-Syaukani menyatakan bahwa para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka dan di masjid dalam rangka mendendangkan syair, mendiskusikan hadist, kemudian mereka makan dan minum. Padahal Rasulullah ada di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, menurut As-Syaukani barang siapa yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka ia sungguh telah salah. Karena sesungguhnya  bid`ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam di atas tidak tergolong bid`ah. ( As-Syaukani, 1992: 46)

Sebenarnya  perkumpulan untuk tahlil hanyalah sebuah instrumen keagamaan, bukan amaliyah keagamaan. Amaliah keagamaannya adalah sesuatu yang ada di dalam perkumpulan tahlil tersebut yakni pembacaan al-fatihah, surat al-ikhlas, al-mu`awwidzataini, ayat kursi, akhir surat al-Baqarah dan seterusnya.

Tahlil hanyalah sebuah format. Sedangkan hakikatnya adalah pembacaan ayat-ayat al-Quran, dzikir dan do`a. Memang Nabi, sahabat dan tabi`in tidak perna melakukanformat tahlil, akan tetapi hakikat tahlil telah mereka lakukan. Mereka tentunya sering membaca ayat kursi, awal dan akhir dari surat al-Baqarah, membaca tasbih, tahmid dan tahlil.

Oleh karena itu, tidak ada alasan kuat untuk melarang acara tahlilan yang merupakan bentuk doa untuk orang yang telah meninggal dunia. Sebab yang dibaca bukanlah bacaan yang dibuat-buat, akan tetapi bacaan yang bersumber dari al-Quran dan hadist.

3. Pembacaan surat Yasin
Dalam setiap perayaan haul, tidak hanya pembacaan manaqib dan tahlil saja yang dilakukan, tapi pembacaan surat Yasin juga menjadi bacaan rutin yang pahalanya dihadiahkan kepada tokoh yang dihauli. Pembacaannya dilakukan secara bersama-sama oleh semua jamaah yang hadir dalam acara haul.

Pembacaan surat Yasin secara bersama-sama yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat adalah boleh. Menurur pendapat yang shohih dan terpilih pahala bacaan dan amal badaniyah orang lain itu dapat sampai kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, dan mereka dapat menerimanya  dalam bentuk penghapusan dosa, terangkat derajatnya, memperoleh cahaya, kesenangan dan pahala-pahala lain menurut anugerah Allah. (Al-Habib Zainal Abidin, 2009: 118)

Berkenaan dengan pembacaan Yasin unrtuk orang mati, Nabi bersabda:

عن معقل بن يسار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم واقرؤوا على موتاكم يس

“Ma`qil bin Yasar berkata, bahwa Rasulullah bersabda :Bacalah surat Yasin atas orang-orang mati kalian semua.”

Ulama ahli tahqiq memberikan penjelasan bahwa hadist ini adalah 'am, meliputi bacaan untuk orang yang sedang sekarat dan bacaan untuk orang yang telah meninggal dunia. Menurut kesepakatan ulama orang yang telah meninggal dapat memperoleh manfaat bacaan tersebut. Adapun yang diperdebatkan diantara mereka hanyalah apakah setelah melakukan pembacaan al-Quran harus ada doa agar pahala bacaannya diberikan kepada orang yang dituju. Jika doa tersebut dilakukan, maka tidak ada khilaf dikalangan ulama tentang sampainya bacaan kapada orang-orang yang telah meninggal dunia. (Al-Habib Zainal Abidin, 2009: 119).

Selanjutnya untuk menanggapi pernyatan kelompok yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan pahala dari orang lain berdasarkan firman Allah:

وان ليس للانسان الاماسعى

Maka paling tidak ada tiga versi jawaban yang bisa disampaikan. Pertama, Ayat tersebut hukumnya telah dinasakh oleh ayat (الحقنا بهم ذريتهم) yang menjelaskan bahwa anak bisa masuk surga sebab kebaikan orang tuanya. Kedua, ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut kandungannya  dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim. Sedangkan umat Nabi Muhammad bisa mendapatkan kiriman pahala dari orang lain. Ketiga, Pengertian seseorang  hanya mendapat pahala dari usahanya sendiri itu berlaku selama tidak ada orang menghadiahkan pahala untuknya. Jika ada, maka dia bisa  mendapatkan pahala dari orang lain.(Abu An`im, 2010: 20)

4. Sedekah Untuk Orang Mati
Dalam islam bersedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Disamping bernilai pahala di sisi Allah SWT, didalamnya juga terdapat  rasa kepedulian dan penghargaan kepada sesama.

Demikian pula bersedekah yang pahalanya diberikan untuk mayit adalah diperbolehkan. Dan di masa Rasulullah SAW, jangankan makanan harta yang sangat berhargapun seperti kebun, disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada mayit. Dalam sebuah hadist shohih disebutkan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنَّ لِى مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا

“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibiku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah SAW menjawab,”iya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. An-Nasai).

Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab al-Ruh mengatakan bahwa sebaik-baik amal perbuatan yang dihadiahkan kepada mayyit adalah memerdekakan budak, bersedekah, beristighfar, berdo`a dan haji. (Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, tth:142)

Imam Nawawi al-Banteny dalam kitab Nihayah al-Zain mengatakan bahwa sedekah untuk mayit dengan cara syar`i sangat diperlukan dan tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Adapun pembatasan dengan waktu tertentu tidak lebih karena disebabkan adat saja.(Imam Nawawi, 1992: 281)

Jadi pemberian sedekah yang pahalanya diperuntukkan untuk mayit hukumnya adalah boleh berdasarkan hadist Nabi dan pendapar ulama.

Oleh : Ahmad Muzakki, Bondowoso, Jawa Timur

 

Bid'ah Ke-14 : Bermazhab Tidak Wajib, bahkan Bid'ah.

Bid'ah Ke-14 : Bermazhab Tidak Wajib, bahkan Bid'ah. 

Jawaban Ringan :
Urusan dunia saja ada alirannya, apalagi urusan agama. Kalau tidak ber Mazhab apakah sudah hafal Al Qur'an ? Hafal Hadits 100 ribu Hadits ? Kalau belum, jangan mimpi. Imam Bukhari yang ahli hadits saja ber Mazhab, mosok tukang arloji seperti Al Bani merasa lebih hebat dari Imam Mazhab dan tidak mau ber Mazhab ?

Jawaban Serius :
Silahkan baca uraian seperti dibawah ini. Sebab kalau kita tidak ber Mazhab siap siap saja kita akan tersesat. 

MENGAPA WAJIB TAQLID?. MENGAPA HARUS BERMADZHAB?

Bagi kita taqlid dengan imam mujtahid itu suatu keharusan yang tidak boleh tidak, karena keterbatasan kita tentang ilmu ilmu al qur an atau pun hadits Nabi SAW.  Akhir-akhir ini datang faham baru yang melarang taqlid, mengharamkan mengikuti madzhab empat, dll.
Fenomena penolakan sebahagian kalangan pada konsep Taqlid untuk kaum awam memunculkan polemik bagi ummat Islam, terutama bagi orang seperti kita yang tiada memiliki kemampuan untuk mendalami agama langsung dari sumbernya yaitu Al Qur’an & As-Sunnah(Hadits).
Di Samping itu keengganan untuk bermadzhab (baca ; Taqlid) telah serta merta membangkitkan semangat sebahagian ummat islam utk beristinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur’an & As-Sunnah) tanpa disertai sarana yg memadahi dan akibatnya dapat kita rasakan, betapa spirit agama yang selayaknya adalah “Rahmatan Lil ‘Alamiin” beralih jadi “Fitnah Perpecahan” diantara sesama ummat Islam.
Oleh karenanya sebelum kita melepaskan diri dari mata rantai ber-Madzhab (Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya berkenaan banyak hal :

PERTAMA : ADAKAH KITA SUDAH MENDALAMI BAHASA ARAB DENGAN BENAR ?
Mendalami bahasa arab dengan benar yaitu sarana pertama yang harus kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam Islam ialah Al- Qur’an & As-Sunnah yang nota bene menggunakan Berbahasa Arab dengan kualitas yang amat sangat tinggi. Ilmu yang harus kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst... Hal ini penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Am, Khosh, berlaku Hakiki, Majazi dst...
Adalah hal yang naif bila kita berani mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil” cuma berdasar pemahaman dari terjemah Al- Qur’an atau As-Sunnah. Sebagai ilustrasi sederhana berikut kami kutipkan peran pemahaman bahasa arab yang baik dan benar dalam memahami Al-Qur’an dan As Sunnah :

Contoh Fungsi Gramatika Arab
Firman Alloh yang menuturkan tata cara berwudhu :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bila kalian hendak melakukan Sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga ke siku dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu hingga kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Coba anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dalam firman Alloh di atas, di mana kata tersebut dibaca Nashob (dibaca Fathah pada huruf lam) padahal kata tersebut lebih dekat dengan kata بِرُءُوسِكُمْ (kepala kalian)yang dibaca Jar (dibaca kasroh pada huruf Ro’) dengan konsekwensi makna sebagai berikut :
a. Seandainya kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yg mesti dilakukan untuk kaki disaat berwudhu adalah Mengusap bukan Membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dgn kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) yakni وَامْسَحُوا(dan Usaplah)
b. Apabila kata وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yg mesti dilakukan untuk kaki saat berwudhu adalah Membasuh bukan Mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ disambung dgn kata وُجُوهَكُمْ yg berarti amil (kata kerjanya) adalah فَاغْسِلُوا (Basuhlah)

Coba anda perhatikan : betapa dengan sedikit perbedaan, berimplikasi makna dan kewajiban yang tidak sama. Di Mana dikala kata وَاَرْجُلَكُمْ dibaca Fathah/Nashab maka kewajibannya adalah Membasuh, sedang apabila kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca Kasroh/Jarr, maka kewajibannya adalah Mengusap. Adakah hal ini kita dapati dari al qur’an terjemahan ????

Contoh Fungsi Balaghoh/Sastra Arab
Masih dalam tema ayat di atas, coba anda lihat kata إِذَا قُمْتُمْ dgn menggunakan Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jikalau dialih bahasakan dengan cara harfiyah memberi makna :

 “Apabila kalian sudah berdiri /menjalankan”... sedang yang dimaksud adalah sebelum sholat. Inilah yg dalam pelajaran sastra arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”

Contoh Fungsi Manthiq
Diantara fungsi “Manthiq”/Logika Bahasa dalam konteks ayat di atas ialah guna Men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat di atas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? &“Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dst.... adakah semuanya dapat kita definisikan dengan kamus bahasa Indonesia ? Sedang Al Qur’an memakai bahasa arab dengan kualitas paling tinggi ?

KEDUA : SUDAHKAH ANDA MENGHAFAL AL QUR’AN (seluruhnya) DAN JUGA SEKURANG-KURANGNYA SERATUS RIBU HADITS ?

Syarat kedua diatas benar benar diperlukan karena dengan terpenuhinya syarat tersebut akan tergambar seluruh ayat dan hadits terkait kalau anda hendak memutuskan sebuah perkara, dengan begitu keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.
Sebagai ilustrasi sederhana kita pakai ayat ayat di atas dengan terjemah sbb : “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu & tanganmu hingga ke siku, & usaplah kepalamu & kedua kakimu hingga kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)
Seandainya kita mendalami cuma dari ayat tersebut, maka akan kita dapati hukum wajibnya berwudhu adalah bagi setiap orang yg hendak melaksanakan sholat, baik ia orang yang masih dalam kondisi suci ataupun berhadats. Mengingat keumuman perintah pada ayat di atas yang ditujukan pada tiap-tiap orang yang hendak melakukan sholat.
Syarat kedua tersebut, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yg sejatinya untuk orang-orang kafir tetapi anda hantamkan untuk orang-orang Islam. Bukankah Abdulloh Ibn Umar –rodhiyallohu ‘anhu- pernah berkata, ketika beliau ditanya tentang tanda-tanda kaum Khowarij ?

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khowarij) sebagai seburuk-buruk makhluk Alloh, dan ia berkata : “Mereka (Khowarij) berkata tentang ayat-ayat yang (sejatinya) turun kepada orang-orang kafir, mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al Bukhori, Bab Qotlil Khowaarij)

KETIGA : SUDAHKAH ANDA MENGUASAI ILMU-ILMU PENDUKUNG YANG LAIN GUNA MENDALAMI AL QUR’AN & AS SUNNAH ?
Perangkat lain yang harus anda kuasai dalam menggali hukum dari Al Qur’an & As Sunnah yang memang luas & dalamnya melebihi luas & dalamnya samudera, diantaranya yaitu ; - anda mesti mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat & juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini mutlak supaya anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh”. (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
- anda juga mesti menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu qur’an, mengingat akan Naif rasanya seseorang “Calon Mujtahid” melafadzkan al qur’an tanpa pengucapan yang fashih.
Di Samping itu anda juga mesti menguasai ilmu-ilmu pendukung guna mendalami As Sunnah, seperti Mushtholah
Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst... hai ini penting setidaknya biar anda tak berhukum dengan hadits yang lemah dengan menabrak hadits yang SAHIH.

KEEMPAT : SUDAHKAH ANDA MENGUASAI KAIDAH BER-ISTINBATH DARI PARA IMAM MUJTAHID ?
Syarat keempat di atas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, & cara Men-Jami’-kan (mencari titik temu) bila
terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).

Juga Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Alloh berikut :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, & orang-orang Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yg beriman kepada
 Alloh & hari akhir, dan  
melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, & mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

Sepintas ayat di atas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, & orang-orang Shobiin, untuk mendapat pahala disisi Alloh atas kebajikan yang mereka perbuat. Maka seakan ayat tersebut  menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, & orang-orang Shobiin, bisa masuk sorga. Adakah kenyataannya memang demikian ? sedang dalam ayat lain Alloh berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tak akan di terima, & di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85)

Perhatikan dua ayat di atas !!! adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda untuk Men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukholafah (tak searah) tsb ?.... sungguh apa yang kami sampaikan di atas hanyalah sebahagian kecil perangkat yang harus anda kuasai untuk Ber-Istinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya).
Saudaraku... kami sampaikan hal-hal di atas bukan dalam rangka mematahkan semangat menuntut ilmu anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali hukum dari sumbernya langsung tidak dengan perangkat yang memadai, maka yakinlah Kelancangan Anda Cuma Akan Berakibat Perpecahan Ummat Islam.

LIKULLI SYAIIN AHLUN, IDZA WUSIDAL AMRU LIGHOIRI AHLIHI.. FANTADZHIRIS SAA’AH : “Setiap segala sesuatu ada ahlinya, Kalau suatu perkara diembankan (diserahkan) kepada yg bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya”.

Sebagaimana fenomena yang terjadi sekarang ini banyak kehancuran, musibah, & saling menjatuhkan pendapat di dunia maya (media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari Alqur'an & Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad & tanpa mempelajari kitab Kuning.

By : Wiliando Farsyad Syarif

Senin, 26 September 2016

Bid'ah Ke-13 : Adzan Sebelum Berangkat Umroh dan Haji Tidak ada Dasarnya.

Bid'ah Ke-13 : Adzan Sebelum Berangkat Umroh dan Haji Tidak ada Dasarnya.

Jawaban Ringan : 
Daripada diiringi lagu dangdut khan lebih bagus diiringi Adzan dan Iqomat biar lebih khusu'.

Jawaban Serius :
HUKUM ADZAN BERANGKAT HAJI DAN UMROH

Mengenai pro kontra adzan saat keberangkatan calon jama'ah haji atau umroh menarik untuk dipecahkan. Hal ini menyangkut kebiasaannya, calon jama’ah haji atau umroh yang akan berangkat menunaikan kewajibannya, berpamitan dulu kepada para kerabat, tetangga, famili dan para undangan, kemudian ketika pemberangkatan biasanya ada semacam ritual pemberangkatan yaitu dengan dikumandangkannya Adzan, dimana tidak sedikit yang menyalahkan dan mempertanyakannya. 

Dengan adanya hal tersebut diatas marilah kita kupas sebuah Hadits yang mendukung dan menjadi dasar dari pada permasalah di atas, yaitu sebuah Hadits Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam sebagai berikut :

a. Hadits yg menerangkan, riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut :

من طريق ابو بكر والرذبارى عن ابن داسة قال : حدثنا ابن محزوم قال حدثني الامام علي ابنى ابي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم – كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا استودع منه حاج او مسافر اذن وأقام – وقال ابن السني متواتر معنوي وروه ابو داود والقرافى والبيهقى

Riwayat dari Abu Bakar dan ar-Rudzbary dari Ibnu Dasah, ia berkata “Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dan Aisyah, ia mengatakan “Jika seseorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam, Rosul pun meng-adzani dan meng-iqomahi”. (HR. Ibnu Hibban)

Hadits ini menurut Ibnu Sunni bersifat mutawattir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qorafi, dan al-Baihaqi. [Ibnu Hibban, Sunan ibnu Hibban, Juz I, Beirut Dar al-Fikr, hal: 36]

b. Pemahaman secara Tekstual
Sahabat Ali ra dan Aisyah rah bercerita, jika seseorang mau bepergian atau berangkat haji, dia berpamitan kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam, kemudian Rosul pun meng-adzani dan meng-iqomatinya.

c. Pemahaman secara Kontekstual. Dari paparan Hadits di atas bisa kita artikan bahwa seorang yang akan bepergian jauh (termasuk haji atau umroh) maka dianjurkan untuk berpamitan kepada para saudara, kerabat, tetangga dan para alim seraya minta do’a restu. Dan khususnya bepergian yang merupakan ibadah yang sangat mulia yaitu haji dan juga bepergian yang bukan maksiat, maka menjadi suatu penghormatan yang pantas bila dikumandangkan adzan, hal tersebut patut diteladani karena Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam sendiri juga telah mengajarkannya.

d. Istimbat Hukum
Dari tradisi seperti itulah, para ahli hukum Islam, khususnya ulama’ Nahdliyyin  (Aswaja NU) berpendapat bahwa adzan yang dilakukan pada saat pemberangkatan haji adalah boleh (mubah). Hal ini berdasarkan pada Hadits Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.

e. Pendapat Ulama
Kemudian para ahli hukum berpendapat seperti yang termaktub dalam kitab I’anah al-Thalibin sebagai berikut :

(قوله خلف المسافر) اي و يسن الآذان والإقامة ايضا خلف المسافر لورود حديث صحيح فيه قال ابو يعلى فى مسنده وابن ابى شيبة : اقول ويمبغى ان محل ذلك ما لم يكن سفر معصية.

"Kalimat menjelang bepergian bagi musafir maksudnya adalah disunnahkan adzan dan iqamah bagi seorang yang hendak bepergian berdasarkan Hadits Shahih. Abu Ya’la dan Ibnu Abi Syaibah : “Sebaiknya tempat adzan yang dimaksudkan itu dikerjakan untuk bepergian yang tidak bertujuan maksiat”. [Al-Dimyati, I’anah At-Tholibin, Juz I, hal: 23] Wallohu a'lam dan smg bermanfa'at. Aamiin
Ibnu Mas'ud

Sabtu, 24 September 2016

Bid'ah Ke-12 : Qadha Sholat. Qodho Sholat hanya untuk yang tertidur. Selebihnya tidak ada alias Bid'ah.

Bid'ah Ke-12 : Qadha Sholat.
Qodho Sholat hanya untuk yang tertidur. Selebihnya tidak ada alias Bid'ah.

Jawaban Ringan :
Punya utang kepada manusia saja wajib bayar. Kok punya utang kepada Allah SWT dan mau dibayar dibilang Bid'ah ? Kalau dibilang bid'ah berarti tidak perlu bayar donk ?

Jawaban Serius :
Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya

Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/membatalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini :

 A.   Hadits-hadits tentang qadha shalat

 1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.

 Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?

Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.

 2). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).

 3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)

4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)

 Nah alau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.

 5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.

 Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).

 Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !

 6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)

 7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.

 Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.

 8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini.

 (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).

 B. Kesimpulan :

 Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng-gantikan sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.

Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.

https://salafytobat.wordpress.com

--------------------------------------

Hujjah NU (Kumpulan Dalil Tradisi NU)

MENGQADLA' SHALAT MAYIT

Adakah dalil Al Quran yang menerangkan meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan oleh si mayit? 
- Suhaili, Sby
Jawaban:
Tidak ditemukan dalil Al Quran tentang mengqadha’ shalat yang ditinggalkan si mayit. Akan tetapi penegasan hadits tentang qadha’ atas puasa yang berbunyi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى » (رواه البخارى 1953 ومسلم 2750)

“Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dan punya tanggungan puasa 1 bulan, apakah saya meng-qadla’ atas nama beliau? Rasulullah menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR Bukhari 1953 dan Muslim 2750 dari Ibnu Abbas).

Hadis ini kemudian diperluas kandungannya oleh Imam Syafi’i dalam qaul qadim (Madzhab terdahulu ketika di Baghdad) mencakup pada shalat-shalat yang ditinggalkan, karena shalat juga termasuk haqqullah.

(فائدة) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية. وفي قول - كجمع مجتهدين - أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه. ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم. وفي وجه - عليه كثيرون من أصحابنا - أنه يطعم عن كل صلاة مدا (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 33)

Disebutkan bahwa: "Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan shalat sebagai ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa" (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24).

Pendapat ini diperkuat oleh ulama Syafi'iyah, bahkan Imam as-Subki melakukan qadla' salat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. Ini adalah amaliyah yang sudah masyhur di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.
Sementara ulama Syafiiyah yang lain berpendapat bahwa "Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya". Pendapat ini disampaikan oleh Imam Qaffal. (Itsmid al-'Ainain 59)
Sedangkan dalam madzhab Hanafiyah disebutkan bahwa ahli waris dapat memberi fidyah atas salat yang ditinggalkan mayit, jika si mayit berpesan demikian, dan tidak harus diqadla'  (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)

--------------------------------------
Niat Shalat Qadha - Qadha Shalat

http://artikelshalat.blogspot.co.id/2011/10/niat-shalat-qadha.html?m=1

Niat Shalat Qadha :

Seperti yang telah ditulis pada artikel sebelumnya berjudul Cara Mengqadha Shalat, shalat qadha adalah shalat yang dikerjakan di luar waktunya dikarenakan sengaja atau tidak sengaja meninggalkan shalat tersebut tepat pada waktunya.

Dilihat dari hukum melaksanakannya, secara garis besar, shalat qadha terbagi 2 bagian :

1. Shalat qadha wajib.
2. Shalat qadha sunat.

Shalat qadha yang hukumnya wajib adalah meninggalkan shalat fardu yang 5 waktu. Sedangkan shalat qadha yang sunat pelaksanaanya adalah ketika kita meninggalkan shalat sunat seperti tarawih, witir dan lainnya. Cara pelaksanaan shalat qadha tidak ada bedanya dengan shalat biasa. Yang menjadi perbedaan adalah waktu pelaksanaan dan niat shalat qadha.

Sebagai contoh, jika kita akan mengqadha shalat subuh, kalimat niatnya sebagai berikut :

اصلى فرض الصبح ركعتين مستقبل القبلة قضاء لله تعالى

"USHALLI FARDLAS SUBHI RAK'ATAINI MUSTAQBILAL QIBLATI QADLAA-AN LILLAHI TA'AALA"

Jadi, kita hanya merubah kata 
اداء

(ADAA-AN) menjadi kata 
قضاء

(QADLAA-AN).

Contoh lainnya :

Niat sholat qodho maghrib

اصلى فرض المغرب ثلاث ركعات مستقبل القبلة قضاء لله تعالى


"USHALLI FARDLAL MAGHRIBI TSALAATSA RAKA'AATIM MUSTAQBILAL QIBLATI QADLAA-AN LILLAHI TA'AALA"

Niat mengqadha shalat dzuhur

اصلى فرض الظهر اربع ركعات مستقبل القبلة قضاء لله تعالى

"USHALLI FARDLAZH ZHUHRI ARBA'A RAKA'AATIM MUSTAQBILAL QIBLATI QADLAA-AN LILLAHI TA'AALA"

Bacaan niat sholat qodho ashar

اصلى فرض العصر اربع ركعات مستقبل القبلة قضاء لله تعالى

"USHALLI FARDLAL ASHHRI ARBA'A RAKA'AATIM MUSTAQBILAL QIBLATI QADLAA-AN LILLAHI TA'AALA"

Begitu juga di dalam shalat sunat. Contoh jika kita akan niat qadha shalat sunat tarawih, niatnya adalah :
اصلى ركعتين من التراويح مستقبل القبلة قضاء لله تعالى

"USHALLI RAK'ATAINI MINAT TARAAWIIHI MUSTAQBILAL QIBLATI QADLAA-AN LILLAHI TA'AALA"

Itulah beberapa contoh bacaan niat shalat qadha yang bisa Saya jelaskan. Perlu diingat bahwa hukum membaca niat shalat tersebut sunat, artinya kita tidak wajib membacakan niat dengan ucapan, yang wajib adalah berniat dengan hati. Adapun kita membacanya adalah untuk kehati-hatian saja, soalnya ada pendapat yang mengharuskan membaca niat tersebut dengan lisan.