Bid'ah Ke-5 : Wiridan dan Do'a Bersama Dipimpin Seorang Imam Setelah Sholat Berjamaah Tidak Ada Dasarnya
Jawaban Ringan :
Yang seharusnya dipersoalkan habis sholat langsung kabur alias Sholat Monyet istilah orang dulunya. Bukan Wiridan berjamaah di hukumi Bid'ah.
Jawaban Serius :
Wiridan setelah sholat berjamaah selalu dikaitkan dan dianggap melekat pada sholat fardhu. Padahal Sholat adalah Ibadah Mahdoh yang terikat dengan aturan yang ketat sementara wiridan adalah ibadah ghoiro mahdoh yang tidak terikat dengan aturan yang ketat. Perlu dipahami bahwa "wilayah" Sholat itu hanya dimulai ketika Takbiratul Ihram dan berakhir setelah salam. Setelah salam, kita bisa memilih apa yang kita akan lakukan. Bisa memilih langsung meninggalkan tempat, jungkir balik, atau goyang dangdut sekalipun. Tapi bisa juga memilih untuk tetap duduk bertafakkur atau merenungi dosa dosa ataukah berdzikir/wiridan. Karena disini bebas memilih, tentu kalau kita sedikit berpikir menggunakan akal sehat dan pakai logika, idealnya kita akan memilih diantara pilihan tersebut yang paling bermanfaat. Mana kira2 yang paling bermanfaat ? Anggaplah kita sepakat yang bermanfaat adalah tetap duduk tafakkur, duduk diam merenungi dosa2 serta berdzikir dan berdo'a (Wiridan). Tafakkur dan duduk diam merenungi dosa dosa memang akan melahirkan hal yang positif, salah satunya akan membuat semakin menyadari eksistensi kita sebagai hamba Allah SWT, tetapi sifatnya satu arah saja. Sedangkan kalau Wirid dan Do'a itu sifatnya dua arah karena bersifat pengagungan dan penghambaan diri kepada Allah SWT. Dengan kata lain bahwa diantara berbagai aktifitas yang paling ideal, logis, masuk akal dan bermanfaat setelah Sholat Berjamaah adalah Wirid dan Do'a. Karena wirid dan do'a ini dianggap yang paling ideal dan bermanfaat, maka tidak heran kalau banyak yang melakukannya setelah Sholat Berjamaah. Sampai disini timbul pertanyaan, apakah sendiri2 atau berjamaah ? Kalau habis Sholat Berjamaah idealnya berjamaah, karena merupakan bagian dari Tarbiyah atau pendidikan terhadap anak anak atau jamaah yang belum hafal dan paham. Kalau sendiri sendiri, buat yang sudah paham tidak masalah, tapi buat yang tidak paham, akan bingung bacaan apa yang seharusnya dibaca. Dengan rutin dilakukan berjamaah dipimpin seorang imam, maka lambat laun anak anak atau jamaah yang belum paham akan hafal dan mengetahuinya. Lalu apakah wiridan dan do'a bersama adalah Bid'ah ? Simak pula penjelasan dibawah ini.
Makna Wiridan Setelah Shalat Lima Waktu
Para pembaca semoga Allah menanamkan dalam hati kita kecintaan kepada kebaikan dan kebenaran. Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan genting sekalipun seperti dalam keadaan perang. Sebagaimana firman-Nya:
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’: 103)
Ayat tersebut terkait dengan kondisi perang, maka dalam kondisi aman tentu lebih memungkinkan untuk melaksanakan dzikir.
Para pembaca rahimakumullah, seorang muslim yang berdzikir setelah shalat hendaknya mencukupkan dengan dzikir-dzikir yang telah disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukan dengan dzikir yang tidak dicontohkan oleh beliau, yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dzikir-dzikir yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Mengucapkan istighfar 3 kali:
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”
Lalu mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan) dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)
2. Mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ ،
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR. Muslim no. 594)
4. Mengucapkan Tasbih, Tahmid dan Takbir:
سُبحان الله (Maha suci Allah) 33 kali,
الحمد لله (Segala puji hanya milik Allah) 33 kali,
الله أكبر (Allah Maha besar) 33 kali,
dan digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».
“Barangsiapa bertasbih (mengucapkan سُبحان الله) 33 kali, bertahmid (mengucapkan الحمد لله) 33 kali, dan bertakbir (mengucapkan الله أكبر) 33 kali, itu semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
((Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu)),
Niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR.Muslim no. 597)
Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-Tirmidzi no. 3486)
5. Mengucapkan:
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Dibaca 10 kali setelah Shalat Maghrib dan Shubuh.
Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh dalam keadaan melipat kedua kakinya sebelum berbicara
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai (timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan –red).” (HR. At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)
6. Membaca Ayat Kursi:
Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)
Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
من قرأ آية الكرسي في دبر كل صلاة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة الا ان يموت نوع آخر في دبر الصلوات
“Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)
7. Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas:
Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 1-4)
Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5)
Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Naas: 1-6)
Catatan: Tiga surat tersebut dibaca 3 kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca 1 kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`.
Keutamaannya adalah sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam: “Tiga surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala kejelekan.” (Lihat Sunan Abu Daud no. 5094)
Dasar Hukum Dzikir dan Do’a Bersama Setelah Sholat Fardhu :
Waktu setelah sholat fardhu
termasuk waktu yang istimewa untuk berdo’a di samping waktu sepertiga akhir di malam hari, waktu antara adzan dan iqomah dan lain-lain. Di waktu-waktu tersebut hendaknya kita memperbanyak do’a dan dzikir.
Mengenai pelaksanaan do’a dan dzikir setelah sholat pada dasarnya tidak ada perselisihan di antara ̒ulama. Masalah yang muncul di sekitar kita disebabkan do’a dan dzikir itu dilakukan bersama, sebagaimana yang dilakukan Nahdliyyin. Amaliyah Nahdliyyin ini dipermasalahkan karena menurut sementara kelompok amaliyah tersebut tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW dan tidak termasuk amalan Salafus Shalih. Pendapat ini tentu harus diluruskan. Dzikir dan do’a bersama memiliki beberapa dasar yang salah satunya Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Hakim sebagai berikut :
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك
Artinya : Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan do’anya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdo’a, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan do’a mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Mengenai posisi imam setelah salam, banyak pendapat tentang hal tersebut. Ada yang mengatakan imam menghadap makmum, ada yang mengatakan bagian kanan badan imam mengarah ke makmum sementara bagian kirinya mengarah ke arah kiblat (untuk di Indonesia, menghadap ke Utara). Ada juga yang mengatakan imam tetap menghadap kiblat. Nah, untuk yang terakhir ini dijelaskan oleh Sayyid Abdurrahman bin Hasan bin Husain Ba Alawi dalam kitab Ghayatu Talkhish Al Murad min Fatawi ibn Ziyad Hal. 89
واختار الحافظ ابن حجر في فتاويه أن الإمام إن كان ممن يذكر المأمومين أو يدرسهم أو يفتيهم فأولى أن يستقبلهم وإلا فيستقبل القبلة
Artinya : Imam Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fatawinya mengatakan : imam lebih utama menghadap makmum jika memang hendak memberikan nasehat, pelajaran atau fatwa kepada mereka. Jika tidak demikian, maka imam tetap menghadap kiblat.
Dengan demikian, dzikir bersama setelah sholat dan posisi imam menghadap kiblat setelah salam memiliki dasar pijakannya sendiri yang diambil dari Kitab atau Sunnah dan pendapat ulama yang tentunya berdasarkan Kitab dan Sunnah.
Perbedaan pandangan dalam hal tersebut dan hal-hal furu’iyah yang lain tidak perlu menjadi penyebab perpecahan antara sesama umat Islam. Perbedaan yang ada biarlah tetap menjadi rahmat, bukan menjadi penyebab laknat. Semoga kita selalu mendapat rahmat dan ni’mat dari Allah SWT. Aamiin…
By : KH Idrus Abdulshomad
Hukum Dzikir Berjamaah Usai Shalat Fardhu Menurut 4 Madzhab
Menurut Para Ulama Madzhab Hanafiyah
( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ لِلْإِمَامِ ) أَيْ وَالْمُقْتَدِينَ ( قَوْلُهُ عَقِبَ الصَّلَاةِ ) أَيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ قَالَ فِي الْقُنْيَةِ إمَامٌ يَعْتَادُ كُلَّ غَدَاةٍ مَعَ جَمَاعَتِهِ قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَآخِرَ الْبَقَرَةِ – ، وَ { شَهِدَ اللهُ } – وَنَحْوَهَا جَهْرًا لَا بَأْسَ بِهِ وَالْإِخْفَاءُ أَفْضَلُ ا هـ . وَتَقَدَّمَ فِي الصَّلَاةِ أَنَّ قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَالْمُعَوِّذَاتِ وَالتَّسْبِيحَاتِ مُسْتَحَبَّةٌ وَأَنَّهُ يُكْرَهُ تَأْخِيرُ السُّنَّةِ إلَّا بِقَدْرِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ إلَخْ ( قَوْلُهُ قَالَ أُسْتَاذُنَا ) هُوَ الْبَدِيعُ شَيْخُ صَاحِبِ الْمُجْتَبَى وَاخْتَارَ الْإِمَامُ جَلَالُ الدِّينِ إنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ بَعْدَهَا سُنَّةٌ يُكْرَهُ وَإِلَّا فَلَا
(Tidak mengapa bagi imam) dan makmum (sesudah shalat) yakni shalat subuh, Beliau berkata dalam Al Qunyah : Imam yang mempunyai kebiasaan setiap pagi beserta jama’ahnya membaca ayat kursi dan akhir al baqoroh dan Syahidallohu dan semacamnya, tidak mengapa baginya membacanya dengan keras, sedang membaca dengan pelan lebih utama. Telah diterangkan dalam bab shalat bahwasannya membaca ayat kursi, al ikhlash, dan mu’awwidzatain juga bacaan-bacaan tasbih adalah sunnah, dan bahwasannya dimakruhkan mengakhirkan shalat sunnah kecuali hanya dengan sekedar membaca “Allohumma antas Salaam …dst (guru kami berkata) -dia adalah Al Badi’ yang merupakan guru dari pengarang kitab Al Mujtabaa- beliau berkata : Al Imaam Jalaaluddin memilih (pendapat yang mengatakan) “Jika setelah sholat fardhu ada shalat sunnah (ba’diyah) maka hukumnya makruh, jika tidak ada shalat sunnah setelah shalat fardhu maka tidak makruh”. (Roddul Mukhtar, vol 27. hal 96)
Menurut Madzhab Malikiyah
( وَ ) جَازَ ( رَفْعُ صَوْتِ مُرَابِطٍ ) وَحَارِسِ بَحْرٍ ( بِالتَّكْبِيرِ ) فِي حَرَسِهِمْ لَيْلًا وَنَهَارًا ؛ لِأَنَّهُ شِعَارُهُمْ ، وَمِثْلُهُ رَفْعُهُ بِتَكْبِيرِ الْعِيدِ وَبِالتَّلْبِيَةِ ، وَكَذَا التَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ الْوَاقِعُ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ أَيْ مِنْ الْجَمَاعَةِ لَا الْمُنْفَرِدِ ، وَالسِّرُّ فِي غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ وَوَجَبَ إنْ لَزِمَ مِنْ الْجَهْرِ التَّشْوِيشُ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ الذَّاكِرِينَ ( وَكُرِهَ التَّطْرِيبُ ) أَيْ التَّغَنِّي بِالتَّكْبِيرِ .
(Dan) boleh (mengeraskan suara bagi Murobith/pemimpin pasukan) dan penjaga pantai (membaca takbir) dalam wilayah penjagaan mereka baik malam atau siang hari, karena hal tersebut menjadi tanda bagi mereka. Dan Begitu juga dengan takbir hari raya, talbiyah, tahlil, tasbih yang terjadi setelah sholat lima waktu dalam berjama’ah bukan ketika sholat sendiri. Sedang membaca pelan pada selain yang tersebut lebih baik, bahkan wajib (memelankan suara) jika kerasnya suara dapat mengakibatkan gangguan bagi orang yang sholat atau orang yang berdzikir. (dan dimakruhkan) melagukan bacaan takbir. (Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, vol 7. hal 179)
Menurut Madzhab Syafi’iyah
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَهَذَا مِنَ الْمُبَاحِ لِلْاِمَامِ وَغَيْرِ الْمَأْمُومِ قَالَ وَأَيُّ إمَامٍ ذَكَرَ اللهَ بِمَا وَصَفْت جَهْرًا أو سِرًّا أو بِغَيْرِهِ فَحَسَنٌ وَأَخْتَارُ لِلْاِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنَ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ ثُمَّ يُسِرُّ
(Imam As Syafi’iy berkata) Dan ini adalah termasuk perkara mubah bagi imam dan selain makmum. Dan siapapun imam yang berdzikir menyebut Allah dengan dzikir yang telah aku sifati atau dengan dzikir yang lain, baik dengan keras maupun pelan, maka hal itu baik. Dan aku memilih untuk imam dan makmum hendaknya mereka berdzikir kepada Allah setelah selesai dari sholat seraya memelankan dzikir-nya, kecuali bagi imam yang berkewajiban dijadikan belajar (oleh makmum) maka imam mengeraskan suaranya sehingga sang imam berpendapat bahwa makmum sungguh telah belajar darinya, baru kemudian imam memelankan (dzikirnya). (Al Umm, vol 1. hal 127)
(بَابُ الْأَذْكَارِ بَعْدَ الصَّلاَةِ) أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اِسْتِحْبَابِ الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، وَجَاءَتْ فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ صَحِيْحَةٌ فِي أَنْوَاعٍ مِنْهُ مُتَعَدِّدَةٍ ، فَنَذْكُرُ طَرَفًا مِنْ أَهَمِّهَا.
(Bab dzikir ba’da shalat) Para ulama telah bersepakat disunnahkannya dzikir ba’da shalat, dan telah ada hadits-hadits yang cukup banyak dan sohih (yang menjelaskan) macam-mazam dzikir. (Al Adzkar, vol 1. hal 70)
فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ السُّنَّةُ في أَكْثَرِ الْأَدْعِيَةِ وَالْأَذْكَارِ الْإِسْرَارُ إلَّا لِمُقْتَضٍ وَعِبَارَةُ شَرْحِي لِلْعُبَابِ مَعَ مَتْنِهِ وَيُسَنُّ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ سِرًّا وَيَجْهَرُ بِهِمَا بَعْدَ السَّلَامِ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الْمَأْمُومِينَ فإذا تَعَلَّمُوا أَسَرُّوا
Ibnu Hajar Al Haitami ketika ditanya tentang mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat hingga mengganggu orang yang sedang shalat, beliau menjawab dengan pernyataannya : “Yang sunnah dalam banyak do’a dan dzikir adalah dengan memelankan suara kecuali ada hal yang mendorong (untuk mengeraskan). Redaksi penjelasanku atas kitab Al ‘Ubaab berikut matannya adalah : “Dan disunnahkan berdo’a dan dzikir dengan pelan, sedang Imam dapat mengeraskan do’a dan dzikir sesudah salam untuk mengajari makmum, selanjutnya jika makmum telah belajar maka mereka (imam dan makmum) memelankan (dzikir-nya). (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَأَمَّا بَعْدَ السَّلَامِ مَا يُقَالُ بَعْدَ السَّلَامِ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا سَلَّمَ أَحَدُكُمْ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ ، وَمِنْكَ السَّلَامُ ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ : ” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْمَعَ فِي دُعَائِهِ بَيْنَ الْخَبَرَيْنِ يَبْدَأُ بِدُعَاءِ ابْنِ الزُّبَيْرِ ، ثُمَّ بِدُعَاءِ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، ثُمَّ إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَزِيدَ عَلَى ذَلِكَ مَا شَاءَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا فَعَلَ ، وَيُسِرُّ بِدُعَائِهِ وَلَا يَجْهَرُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ الدُّعَاءَ ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْهَرَ بِهِ قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا [الْإِسْرَاءِ] . قَالَ الشَّافِعِيُّ : مَعْنَاهُ لَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ جَهْرًا لَا يُسْمَعُ ، وَلَا تُخَافِتْ بِهَا إِخْفَاتا لَا يُسْمَعُ
Fasal : Adapun setelah salam, yakni tentang apa yang dibaca setelah salamnya shalat, maka Abdulloh bin Al Harits meriwayatkan dari ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha- bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seseorang dari kalian selesai salam dari sholatnya hendaknya ia berdo’a ; “Allohumma Antas Salaam Waminkas Salaam Tabaarokta Yaa Dzal Jalaali Wal Ikrrom”. Abdulloh bin Az Zubair meriwayatkan; Bahwasannya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam disetiap selesai dari shalat-nya beliau membaca : “Asyhadu an laa ilaaha illallohu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir.” Dan dianjurkan (bagi orang yang selesai shalat) menggabungkan dua hadits tersebut dalam do’anya, dimulai dengan riwayat Ibnu Zubair kemudian riwayat ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, selanjutnya jika ia ingin menambahkan-nya dengan do’a yang ia inginkan baik berupa urusan agama atau urusan dunia maka ia dapat melakukannya. Dan hendaknya ia memelankan suara do’anya dan tidak mengeraskannya, kecuali ia menjadi imam yang bertujuan ingin mengajari manusia dengan do’a tersebut, maka tidaklah mengapa mengeraskan do’anya. Alloh Ta’aala berfirman : “dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholat dan janganlah (pula) merendahkannya “ (Al Isroo’ : 110) Imam As Syafi’iy berkata : “Maksudnya adalah; Jangan engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dengan terlalu keras hingga tidak dapat didengar, dan janganlah (pula) engkau merendahkannya dengan terlau rendah hingga tidak didengar.” (Al Haawi Fi Fiqhis Syafi’iy, vol 2. hal 147)
Menurut Madzhab Hanabilah / Hanbaliyah
(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى وَالدُّعَاءُ عَقِيْبَ الصَّلاَةِ وَالْاِسْتِغْفَارِ كَمَا وَرَدَ فِي الْاَخْبَارِ فَرَوَي اَلْمُغِيْرَةُ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ” متفق عليه،
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, berdo’a dan istighfar sesudah sholat sebagaimana yang ada dalam beberapa hadits. Al Mughiroh meriwayat-kan, ia berkata : “Adalah Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai sholat maktubah beliau membaca : “Laa ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Muttafaq ‘Alaih) (As Syarhul Kabiir Libni Qudamah, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى ، وَالدُّعَاءُ عَقِيبَ صَلَاتِهِ ، وَيُسْتَحَبُّ مِنْ ذَلِكَ مَا وَرَدَ بِهِ الْأَثَرُ ، مِثْلُ مَا رَوَى الْمُغِيرَةُ ، قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ }
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, dan berdo’a sesudah sholatnya, dan dianjurkan pula hendaknya diantara dzikir dan do’a yang dibaca terdapat bacaan yang telah ada dalam atsar, seperti bacaan dan do’a yang diriwayatkan Al Mughiroh, ia berkata : “Adalah Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai shalat maktubah beliau membaca : “Laa ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Al Mughni, vol. 2, hlm. 471)
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulah bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu tidaklah haram (bid’ah) sebagaimana pendapat sebagian kecil umat Islam. Bahkan penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu itu hukumnya sunnah.
By : Ustadz Abu Hilya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar