Rabu, 21 September 2016

Adakah Madzhab SAWAH ? (Salafi-Wahabi)

Adakah Madzhab SAWAH ? (Salafi-Wahabi)

“Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai SAWAH, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada Mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja”

Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti : Qiyas, Mashlahah Mursalah, Istihsan, Istishhab, Mafhum dan Manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.

Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.

Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.

Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar Ilmu Ushul agar mengerti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.

Apa yang dikatakan oleh Ustadz Ahmad Sarwat di atas bahwa “Mereka kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang”. Apalagi hadits dhoif mereka perlakukan serupa dengan hadits palsu sehingga merekapun membuangnya.

Mereka ber-Mazhab Dzahiriyah menganggap kaum muslim lainnya sebagai Ahlul Bid’ah contohnya terhadap kebiasaan membaca surah Yasin setiap malam Jum’at.

Dalam hadits yang telah terbukukan ada riwayat tentang kebiasaan Rasulullah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at namun bukan berarti terlarang membiasakan membaca surat selain surat Al Kahfi. Apalagi keliru jika sampai berkeyakinan bahwa kaum muslim yang mempunyai kebiasaan membaca surat selain surat Al Kahfi akan masuk neraka karena menganggapnya sebagai bid’ah dholalah.

Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim)

Hal yang perlu kita ingat bahwa tidak dapat menghukumi sebuah kebiasaan dengan hanya bermodalkan hadits-hadits yang telah dibukukan saja karena jumlah hadits yang telah dibukukan jumlahnya lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh seorang al hafidz (100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh seorang al hujjah (300.000 hadits)

Jadi tidak ada larangan-Nya untuk membaca surat selain surat Al Kahfi pada malam Jum’at

Begitupula tidak terlarang berwashilah dengan amal kebaikan berupa bacaan surah Yasin dalam membuka sebuah acara atau membuka dan mengakhiri doa

Untuk itulah dalam perkara kebiasan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat ditanyakan kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran tentang kebiasan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari orang tua mereka secara turun temurun yang bersambung kepada apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Mereka ber-Mazhab Dzahiriyah menganggap kaum muslim lainnya sebagai ahlul bid’ah karena mereka memahami hadits “Kullu bid’atin dholalah” tidak mempergunakan ilmu seperti ilmu tata bahasa atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun dengan ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain.

Para ahli nahwu dan sharaf telah sepakat bahwa kata kullu (setiap) dalam hadits “Kullu bid’atin dholalah” adalah kullu ba’din maksudnya ”setiap dari sebagian”

Bid’ah adalah kata benda yang belum menunjukkan sifatnya. Dalam Ilmu Balaghah dikatakan

حدف الصفة على الموصوف

“membuang sifat dari benda yang bersifat”.

Jadi mungkin saja bid’ah bersifat baik (hasanah) dan mungkin bersifat jelek (sayyiah).

Sedangkan kullu pada “setiap kesesatan akan bertempat di neraka” atau “setiap memabukkan haram” (HR Bukhari 3997) atau “setiap minuman yang memabukkan haram” (HR Bukhari 235) adalah kullu jam’in (kullu dari semua) dan lagi pula “kesesatan” dan “memabukkan” sudah jelas (lugas) sifat jelek (sayyiah).

Hadits “kullu bid’atin dholalah” adalah hadits yang bersifat umum (‘amm) sehingga dibutuhkan dalil lain yang menjelaskan bid’ah bersifat jelek (sayyiah) atau bid’ah yang merupakan kesesatan.

Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Jumhur ahli ushul fiqih menetapkan bahwa dlalalah ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuannya adalah zhanniyah (dugaan, tidak pasti / tidak suatu hal yang qath’i, tidak menunjukkan arti lugas). Sehingga diperlukan dalil yang menunjukkan arti lugas untuk menjelaskan bid’ah yang jelek (sayyiah) atau bid’ah yang merupakan kesesatan.

Contohnya mereka bertanya jika peringatan Maulid Nabi adalah dianggap baik mengapa sholat subuh tidak boleh ditambah rakaatnya walaupun dianggap baik ?

Dari bentuk pertanyaan mereka dapat kita ketahui bahwa mereka tidak dapat membedakan jenis ibadahnya.

Peringatan Maulid Nabi termasuk ibadah Ghairu Mahdhoh yakni perkara kebiasaan sedangkan Sholat Subuh adalah ibadah Mahdhoh yakni ibadah yang sudah disyariatkan.

Rumus :
Ibadah Mahdhoh = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat

Rumus :
Ibadah Ghairo Mahdhoh = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah

Ibadah Mahdhah atau ibadah bersifat khusus (khas, khashashah) adalah segala perkara yang telah diwajibkan-Nya meliputi menjalankan apa yang telah diwajibkan-Nya jika ditinggalkan berdosa dan menjauhi apa yang telah dilarang-Nya atau diharamkan-Nya jika dilanggar berdosa.

Ibadah Ghairu Mahdhoh atau ibadah bersifat umum (‘Amm, ‘ammah ) adalah segala perkara yang diizinkan-Nya atau dibolehkan-Nya meliputi segala amal kebaikan yakni segala perkara yang jika dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda :

 “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (ibadah Mahdhoh), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amal kebaikan (ibadah Ghairu Mahdhoh) maka Aku mencintai dia” . (HR Bukhari 6021)

Jadi ibadah Mahdhah tujuannya sebagai bukti ketaatan kepada Allah ta’ala dengan menjalankan apa yang telah diwajibkan-Nya yakni menjalankan kewajiban-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang dilakukan atas dasar ketentuan-Nya.  Sedangkan ibadah Ghairu mahdhoh tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri.

Prinsip-prinsip ibadah Mahdhoh

1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya

2. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang. Dalam Ibadah Mahdhoh berlaku kaidah Ushul Fiqih : " Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)

3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

4. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.

Prinsip-prinsip ibadah Ghairo Mahdhoh

1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.

3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan

Hal yang harus kita ingat selalu bahwa ibadah mahdhah harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah

Perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah disebut perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama

Dalam urusan agama (urusan kami) atau perkara syariat atau ibadah mahdhah dapat berlaku kaidah fiqih

اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ

“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”

Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

Contohnya adzan sebelum sholat ied. Tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan adzan pada sholat ied, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan sholat subuh dua raka’at artinya Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada sholat subuh sehingga yang menyelisihinya, contohnya dengan mengurangi atau menambah raka’atnya maka termasuk bid’ah dalam urusan agama (urusan kami)

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram ?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63]
Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

Kesimpulannya janganlah mewajibkan yang tidak diwajibkanNya walaupun manusia menganggapnya baik.

Sebaliknya janganlah melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya walaupun manusia menganggapnya buruk

Sebaiknya janganlah pernah membuat perkara baru (bid’ah) atau mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena semua itu adalah perkara terkait dengan dosa yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.

Perkara yang terkait dengan dosa adalah

1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)

Urusan agama (urusan kami) yakni perintah dan larangan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkan-Nya, selebihnya adalah perkara yang didiamkan-Nya atau dibolehkan-Nya.

Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan-Nya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Jadi pelaku bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) adalah mereka yang mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya

Mereka yang melakukan dan mentaati bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) termasuk perbuatan menyekutukan Allah (QS al-A’raf [7] : 33) yakni menjadikan para ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Sedangkan dalam perkara muamalah atau kebiasaan atau adat tidak selalu yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah adalah perkara terlarang.

Janganlah terhasut oleh perkataan mereka seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” yang mirip dengan perkataan orang-orang kafir sebagaimana yang termuat dalam firmanNya, waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun (QS al Ahqaaf [46]:11 )

“Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” bukan firmanNya dan bukan pula perkataan Rasulullah maupun para Sahabat.

Andaikan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” itu baik tentulah Rasulullah, para Sahabat, Salafush sholeh lainnya maupun Imam Mazhab yang empat sering mengucapkannya.

Contoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggalkan makan daging biawak bukan berarti perkara terlarang atau haram.

Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpuasa sunnah tiga hari dalam sebulan sedangkan para Sahabat melebihinya bukanlah perkara terlarang

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).

Perkara baru (bid’ah) di luar urusan agama (urusan kami) seperti perkara muamalah atau kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak menyalahi larangan-Nya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Dalam perkara muamalah atau kebiasaan atau adat berlaku kaidah ushul fiqih, “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.

Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh). Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)

Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah: 29)

“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 13)

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman: 20)

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.

Begitupula kaidah yang serupa berbunyi

Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…

“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhoh) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat kecuali yang diharamkan oleh Allah.”

Contoh kebiasaan bersedekah untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.

Contoh puasa sunah melebihi tiga hari dalam sebulan sebagaimana jumlah hari yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).

Contoh lain perintahnya adalah berdoalah dan bersholawatlah. Namun berdoa dan bersholawat tidak wajib sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Berdoa dan bersholawat boleh mempergunakan bahasa kita sendiri yakni bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Contoh untaian doa dan dzikir atau ratib Al Haddad , tentulah Rasulullah tidak pernah membaca ratib Al Haddad karena ratib Al Haddad dibuat oleh Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad sekitar 1071 H namun ratib Al Haddad tidak termasuk bid’ah sayyiah ataupun bid’ah dholalah. Untaian doa dan dzikir, Ratib Al Haddad termasuk perkara baru dalah ibadah ghairu mahdhah atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan.

Contoh bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ~rahimahullah adalah beliau sering bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”

Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”

Sementara itu, Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Ihya’ menuturkan hal berkut: Abu Al-Hasan Al-Syafi’i menuturkan, “Saya telah bermimpi melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu saya bertanya, “Ya Rasulullah, dengan apa As-Syafi’i diberi pahala dari sebab ucapannya dalam kitab Al-Risalah: Washallallahu ‘ala muhammaddin kullama dzakara al-Dzdakirun waghafala ‘an dzikrik al-ghafilun?’ Rasulullah menjawab: ‘la tidak ditahan untuk dihisab.”‘

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari 6468)

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim; Telah menceritakan kepada kami Rauh; Telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Ishaq; Telah menceritakan kepadaku Abu Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka sesungguhnya dia benar-benar melihatku; karena setan itu tidak dapat menyerupai bentukku.” (HR Muslim 4210)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Shabbah Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir aku mendengar Auf telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sirin bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika akhir zaman semakin mendekat, mimpi seorang mukmin nyaris tidak bohong, dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh bagian kenabian, dan apa yang berasal dari kenabian tentu tidaklah bohong. (HR Bukhari 6499)

Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.

Berikut pendapat Imam Syafi’i ra

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَة?ٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Berikut pendapat mereka terhadap hadits tersebut

1.Maksud perkataan Rasulullah “Man sanna fi Islami sunnatan hasanataan” tidak lain adalah mengamalkan apa yang sudah ada dasarnya dari Sunnah Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wasallam. Asbabul wurud hadits tersebut berkenaan dengan urusan shadaqah yang telah disyari’atkan

2. kata-kata “man sanna” bisa diartikan pula : “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang ditinggalkan.

3. Ada pula mereka mensarikan dari buku “Al Ibdaa’ fi kamaalisy wa khataril ibtidaa’ edisi Indonesia “Kesempurnaan Islam dan bahaya bid’ah karya Ulama Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin bahwa arti “sanna” ialah : melaksanakan (mengerjakan) bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau: “Man sanna fil Islaami Sunatan hasanatan” , yaitu : ‘Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik” , bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian itu dilarang bersabdakan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :”Kullu bid’atin dholalah”

Urusan shadaqah memang sudah disyariatkan namun dalam hadits tersebut disampaikan bahwa ada seorang Sahabat Nabi yang mencontohkan atau memulai untuk bersedekah sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah bukan berarti sunnah Rasulullah karena tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah (jelek).

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah artinya contoh atau suri tauladan atau perkara kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan (adat)

Sunnah Hasanah (baik) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Sunnah Sayyiah (buruk) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Contoh sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Abu Bakar radhiyallahuanhu tentang pengumpulan Al Qur’an adalah suatu kebaikan maksudnya perkara baru (bid’ah) dalam kebaikan atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan atau adat yang baik

Dalam suatu riwayat Sayyidina Abu Bakar radhiyallahuanhu memanggil Zaid bin Tsabit sembari berkata padanya : “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal cerdas dan konsisten. Engkau telah menulis wahyu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka aku memintamu untuk mengumpulkannya”. Zaid menjawab : “Demi Allah, seandainya engkau memaksaku untuk memindahkan satu gunung dari gunung yang lain maka itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahmu kepadaku mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Dia menjawab : “Demi Allah, itu membawa kebaikan”. Abu Bakar senantiasa “membujukku” hingga Allah melapangkan dadaku, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Al – Qur’an, kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan – kepingan batu dan dari hafalan – hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al – Ansari. Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati – hati.

Begitupula perkataan Sayyidina Umar radhiyallahuanhu “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” yang diucapkan pada malam berikutnya adalah berkesinambunganya orang-orang melakukan sholat tarawih berjama’ah di belakang seorang imam walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan meninggalkannya beberapa malam.

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” (atau diterjemahkan juga sebagai “sebaik-baik bid’ah adalah ini”)

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270).

Hal yang dikhawatirkan oleh Rasulullah adalah sholat tarawih menjadi suatu kewajiban atau suatu perkara yang jika ditinggalkan berdosa karena segala perkara yang terkait dengan dosa harus berdasarkan wahyuNya.

Rasulullah tidak mengharamkan memakan daging biawak karena memang tidak diwahyukanNya

Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)

Dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggalkan sholat tarawih beberapa malam artinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan tidak mewajibkan apa yang tidak diwajibkanNya

Dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melarang para Sahabat berpuasa sunnah melebihi tiga hari sebagaimana dicontohkannya (hadits di atas) artinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan tidak melarang apa yang tidak dilarangNya

Dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengharamkan memakan daging biawak artinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallammencontohkan tidak mengharamkan apa yang tidak diharamkanNya

Kesimpulannya bid’ah dholalah ada dua jenis yakni

1. Bid’ah dalam urusan agama adalah bid’ah dalam perkara terkait dosa yang tidak diwahyukanNya yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkanNya

2. Bid’ah dalam perkara muamalah atau kebiasaan atau adat yang menyalahi laranganNya atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Sedangkan bid’ah hasanah adalah bid’ah dalam perkara muamalah atau kebiasaan atau ada yang tidak menyalahi laranganNya atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Contoh bid’ah hasanah dalam perkara kebiasaan yang terkenal adalah kebiasaan kaum muslim memperingati Maulid Nabi

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.

Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”

Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok. Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.

Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar