Selasa, 20 September 2016

Bid'ah Ke-8 : Sholat Tarawih 20 Rakaat. Tidak ada dalilnya karena Rasululloh hanya 8 rakaat dan witir 3 rakaat

Bid'ah Ke-8 :  Sholat Tarawih 20 Rakaat. Tidak ada dalilnya karena Rasululloh hanya 8 rakaat dan witir 3 rakaat.

Jawaban Ringan :
Kalau mau pahala yang besar ya sholatnya sunnahnya yang banyak pula. Di Mekkah dan Madinah tidak ada yang sholat tarawih 8 rakaat. Hanya kaum SAWAH yang melaksanakannya. Khan Mekkah dan Madinah kiblatnya SAWAH, kenapa tidak ada yang 11 Rakaat ?

Jawaban Serius : Hampir semua Imam Mazhab sepakat atau ijma' shalat tarawih adalah 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Shalat tarawih 11 rakaat salah dalam penafsiran hadits sehingga hasilnya adalah fatwa yang keliru pula. Hal ihwal shalat tarawih dibahas dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh Juz 2 disebutkan :

”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah muakkad.
Ada pun dalil bahwa rakaatnya 20 adalah: Riwayat dari Yazid bin Rouman yang berkata: ”Adalah manusia mendirikan Qiyamulul Ramadhan di zaman Umar dengan 23 rakaat.” Semua itu disaksikan oleh dan diikuti oleh segenap shahabat, sehingga jadilah ia ijma’. Abu Bakar Abdul Aziz meriwayatkan dalam Asy-Syafi dari Ibnu Abbas: ”Bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat.” Dan adalah Umar ketika mengumpulkan manusia di belakang Ubai bin Ka’ab, mereka shalat 20 rakaat. Dan dari Ali bahwa beliau memerintahkan seorang untuk menjadi imam di bulan Ramadhan dengan 20 raka’at. Dan ini adalah ijma’. Dan telah tetap bahwa Ubai bin Ka’ab ketika mengimami manusia mereka shalat 20 rakaat Qiyamu Ramadhan.

Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada
lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab,
tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid,selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni’matil bid’atu haadzihi
(sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20
rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh).
Perhatikan hadits dibawah ini :

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح]

Dari Abu Najih, Al ‘Irbad bin Sariyah”Rasulullah telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan membuat airmata bercucuran”. kami bertanya ,”Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah selamanya (meninggal), maka berilah kami wasiat” Rasulullah bersabda, “Saya memberi wasiat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Alloh yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan berpeganglah kamu dengan kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.”

HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih

Tertera ikuti sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan berpeganglah kamu dengan kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat. Kalau dianggap
itu sesuatu yang bid' nyatanya
Bid’ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini,
malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi
Arabia seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil
Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh,
sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan bid’ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia.
Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di
masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID’AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun. Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali
songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang
sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang
mengamalkan ajaran Bid’ah Hasanahnya beliau-beliau itu.
Baik itu berupa Bid’ahnya Tarawih Berjamaah maupun
Bid’ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang
lainnya.

Sebagian Ulama menfatwakan bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at. Sesungguhnya dalil yang mendasarinya hanyalah 2, yaitu:

A. Dalil Pertama

Hadits dari Aisyah Rda.: “Adalah Rasulullah SAW tidak pernahr menambah lebih dari 11 rakaat, di bulan Ramadhan dan di bulan yang lain, beliau shalat empat raka’at, jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka’at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at. Maka aku (A’isyah) bertanya: ”Apakah engkau tidur sebelum beriwitir?” Nabi SAW menjawab: ”Sesungguhnya kedua mataku terpejam, tapi hatiku tidak tidur.” (HR Imam Bukhari Muslim)

Mari kita kupas masing-masing dalil tersebut. Dalil pertama ternyata bukanlah dalil tentang shalat Tarawih, karena tidak ada Tarawih di luar Ramadhan. Para ahli hadits seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Baihaqi, dan lain-lain tidak menggunakan hadits tersebut sebagai dasar untuk menetapkan bilangan raka’at Tarawih.
Sebagian orang menyangka bahwa para Ulama Salaf itu tidak tahu adanya hadits tersebut. Ini jelas salah sangka yang parah dan kebodohan yang perlu diluruskan. Sudah jelas hadits itu riwiyatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan juga Imam Baihaqi. Tapi, kenyataannya para Ulama salaf itu justru memilih 20 rakaat Tarawih. Mengapa? Apakah para Ulama Salaf itu menentang hadits Nabi? Jawabannya jelas bukan. Yang benar adalah karena mereka semua tahu bahwa hadits itu bukan tentang Tarawih. Para Imam itu adalah para Ulama yang bermadzhab Syafi’i dalam Fiqih, dan kita semua tahu bahwa semua Ulama madzhab sepakat bahwa jumlah raka’at tarawih adalah 20 rakaat.

Di akhir zaman ini saja kita memaksakan penafsiran bahwa hadits itu bicara tentang Tarawih, padahal bukan. Kesalahan berdalil memang bisa berbahaya.
Baiklah kini kita ungkap tentang pandangan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau dikenal sebagai Ulama pembela sunnah dan penentang bid’ah, paling tidak demikian menurut pendapat para pengikut beliau. Beliau ini hidup terpisah 7 abad dengan masa shahabat. Boleh dikatakan beliau inilah yang dianggap orang yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat. Tapi, mari kita lihat apa yang beliau katakan dalam Kitab Fatawa-nya:
”Telah terbukti bahwa shahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak 20 raka’at, lalu mengerjakan witir 3 raka’at. Kemudian mayoritas Ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah, karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”

Ada baiknya juga kita tampilkan pandangan dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab (Tokoh Wahabi). Dalam Kitab Majma’ Fatawi an-Najdiyah diterangkan tentang jawaban beliau ketika ditanya tentang bilangan raka’at Tarawih. Beliau menjawab bahwa shahabat Umar mengumpulkan manusia untuk shalat berjama’ah di belakang Ubay bin Ka’ab. Maka mereka shalat 20 raka’at.

Jadi, hanya orang bodoh yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu pekerjaan bid’ah yang sesat, karena seluruh orang alim telah menyatakan kesunnahannya. Hal itu hanya dikatakan oleh orang-orang di akhir zaman ini saja. Bila Imam Bukhari, Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Baihaqi yang meriwayatkan Hadits tersebut tidak menganggapnya sebagai dalil untuk Shalat Tarawih, mengapa pula orang-orang di akhir zaman merasa lebih tahu dan melakukan kesalahan dengan menggunakannya sebagai dalil Tarawih?

Nabi SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah mematikan ilmu dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang alim maka manusia akan mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh.. Ketika ditanya mereka memberikan fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR Bukhari Muslim)

Maka, waspadalah kepada fatwa-fatwa di akhir zaman ini yang menyelisihi pendapat yang telah disepakati oleh para Ulama Salaf.
B. Dalil Kedua

Riwayat dari dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid, ia berkata,”Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan sebelas rakaat.”

Matan riwayat ini ternyata ada selisih, karena menurut riwayat dari Yazid bin Khushaifah bilangannya adalah 20 rakaat. Para pembela 11 rakaat mengatakan bahwa riwayat dari Yazid ini adalah Syadz (nyleneh). Tapi, sebenarnya tidak ada yang mengatakannya demikian kecuali Syaikh Al-Albani. Pendapat Syaikh Al-Albani ini kemudian diikuti saja secara taqlid buta oleh para pengikut beliau tanpa meneliti lebih lanjut.

Sebenarnya yang syadz justru riwayat yang mengatakan 11 rakaat, karena berbeda dengan kenyataan yang dilakukan pada masa itu. Selain itu, suatu dalil yang matannya dipertentangkan tidak bisa disebut shahih, karena dhaif secara matan. Maka, atas dasar apa Al-Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih? Beliau menggunakan argumen bahwa riwayat ini sesuai dengan hadits A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi shalat malam 11 rakaat. Pendapat Albani ini juga diikuti secara taqlid buta oleh para pengikut beliau.

Argumen ini sungguh tidak tepat. Pertama, yang dijadikan rujukan bukan berbicara tentang persoalan yang disandarkan kepadanya. Maka, tidak bisa kedua dalil itu disambungkan, karena tidak sesuai dengan ilmu musthalah hadits.
Kedua, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan khabar tersebut justru berpendapat bahwa Tarawih itu 20 rakaat, sebagaimana yang kemudian menjadi fatwa resmi madzhab Maliki. Bila ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memilih 11 rakaat, maka itu suatu kebohongan.. Seluruh kitab fiqih populer jelas menyebutkan bahwa menurut madzhab Maliki bilangan rakaat Tarawih adalah 20 rakaat. Silakan periksa pada Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juga kitab Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah. Bahkan sebagian fatwa dalam fiqih Maliki justru menjustifikasi jumlah 36 rakaat sebagaimana dilakukan di Madinah pada zaman tabi’in, yaitu di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.

Sangat tidak logis bila Imam Malik mengetahui suatu dalil kemudian beliau menentang dalil tersebut. Semua orang, termasuk di luar kalangan Madzhab Maliki, mengakui bahwa beliau adalah orang yang tsiqah dan memegang teguh sunnah. Bahkan belaiulah pelopor diutamakannya dalil hadits di atas dalil rasio.
Maka, dalil kedua ini pun gugur dan tidak dapat dijadikan argumen sebagai dasar untuk menjustifikasi bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at dan yang 20 rakaat adalah bid’ah dhalalah. Selain itu, tidak mungkin para Imam madzhab dan Imam-imam Hadits itu adalah para pembuat bid’ah.

C. Dalil-dalil yang lain

Sesungguhnya tidak ada lagi dalil lain yang cukup kuat untuk menyokong pendapat Tarawih 11 rakaat itu. Ada satu hadits dhaif dari Ibnu Umar Ra., beliau menyebutkan, “Nabi SAW menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.” (HR Ibnu Hibban)
Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya adalah Hasan berdasarkan syahidnya (meningkat dari dhaif menjadi hasan karena ada hadits dari A’isyah). Ini juga tidak tepat, karena syahidnya tidak mencocoki dengan masalah yang disyahidi. Dengan kata lain, sebenarnya syahidnya tidak ada.

Bila dalil dari A’isyah dipergunakan untuk shalat Tarawih maka dalil-dali berikut ini pun harus dipergunakan pula:
Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: ”Aku perhatikan shalat malam Rasulullah SAW. Beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (HR Imam Malik, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)

Dari Aisyah Rda., ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan rakaat, kemudian berwitir (tiga rakaat). (HR Imam Ahmad dan Nasa’i)

Dari Aisyah Rda., adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan. (HR Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi)

Selain itu, bila kita tandingkan perkataan A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi shalat tidak lebih dari 11 raka’at menjadi dipertanyakan, karena ada hadits shahih yang lain yang menyebutkan bahwa beliau ada shalat lebih dari 11 raka’at. Ini menunjukkan bahwa ini semua bukan dalil tentang shalat Tarawih. Selain itu, dalam mengambil hukum dari suatu dalil, telah disepakati bahwa ”al-mutsbitu muqaddam ala an-naafii” (yang menetapkan ada didahulukan dari yang menetapkan tidak ada).
Bila ada nash yang menyebut lebih banyak, maka nash itulah yang lebih diterima, karena yang menetapkan lebih mengetahui daripada yang tidak. Harusnya, mereka yang menggunakan dalil dari A’isyah Rda. menetapkan bahwa bilangan Tarawih itu 13 atau 15 rakaat.

D. Pandangan Para Ulama Salaf

Kini, mari kita lihat pendapat dan cara pandang para Ulama Salaf dalam menyikapi masalah ini.

Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., maka beliau berkata:”Shalat tarawih itu adalah sunnat mu´akkadah. Dan Umar ra. tidaklah menentukan bilangan 20 raka´at tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid´ah. Dan beliau tidak melaksanakan shalat 20 raka´at, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”

Imam Tirmidzi dalam Kitab Sunan Tirmidzi menyebutkan: ”Mayoritas ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, Ali, dan Shahabat-shahabat Nabi SAW tentang shalat Tarawih 20 raka’at. Ini juga pendapat Ast-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Imam Syafi’i. Beliau Imam Syafi’i berkata: ”Inilah yang aku jumpai di negeri kita Makkah. Mereka semua shalat Tarawih 20 rakaat.”

Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ menceritakan dari Yazid bin Khushaifah, ”Orang-orang pada masa Umar melakukan shalat Tarawih di bulan Ramadhan 23 raka’at.”

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi (lihat Al-Majmu’ dan al-Khulashah) , diakui oleh Al-Zaila’i (lihat Nashb al-Rayah), dishahihkan oleh Imam as-Subki (Syarah Minhaj), Ibn al-Iraqi (lihat Tharh at-Tatsrib), al-Aini (lihat Umdah al-Qari), As-Suyuthi (lihat al-Mashabih fi Shalat at-Tarawih), Ali al-Qari’ (Syarah Al-Muwaththa’) serta ulama-ulama yang lain.

Imam Ibn Taymiyah menulis: ”Telah diterima bahwa Ubay Ibn Ka´b biasa mengimami sembahyang untuk jamaah dengan 20 rakaat di bulan ramadlan dan 3 rakaat witir. Dari sini, para ulama bersepakat 20 rakaat sebagai sunnat karena Ubay biasa mengimami jamaah yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dan tidak seorangpun di antara mereka menolaknya.” (Fataawa Ibn Taymiyyah hal.112)

Demikianlah bahwa telah nyata berdasarkan persaksian para Ulama Salaf bahwa Tarawih dilaksanakan di masa mereka adalah 20 rakaat dengan 3 rakaat witir. Ibadah Tarawih ini adalah ibadah yang dilakukan berjamaah dan dengan mudah diketahui berapa rakaat dilakukan, karena yang melakukan banyak dan merata di seluruh wilayah Islam. Kesamaan fatwa di masa para Ulama Salaf menunjukkan bahwa ibadah ini merata dilakukan dengan jumlah yang seragam, yakni 20 rakaat. Mustahil, hanya dalam waktu tidak sampai 2 abad seluruh ummat melakukan kesalahan secara seragam, sedangkan pada masa itu Islam dipenuhi oleh para Ulama yang tsiqah. Para Imam Madzhab dan para Imam Hadits tidak mungkin bareng-bareng salah semua. Kalau begitu, rusaklah ajaran agama ini sedari awal.

Pandangan para Ulama Salaf ini telah diterima oleh mayoritas ummat dan mendapatkan pembenaran dari Nabi SAW: ”Ikutlah kalian kepada dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (H.R. Imam Tirmidzi)

Sabda Rasulullah SAW juga: “Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Rasulullah SAW juga bersabda: “Ummatku tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Maka, ikutlah manhaj yang dipegang oleh para Ulama Salaf dan jangan berpaling dari kesepakatan mereka.

Wa Allah A’lam bi ash-showaab

(Dafid Fuadi)


Sholat Tarawih 20 Rakaat

Sejak zaman dahulu umat Islam seringkali disibukkan dengan perdebatan tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Ada yang berpendapat 20 rakaat plus tiga rakaat witir, ada yang berpendapat 8 rakaat plus 3 rakat witir. Bahkan ada juga yang melakukannya dengan 36 rakaat, atau tidak membatasi jumlahnya.
Para pemuka ilmu fiqih Islam yang merupakan para salafush-shalih hakiki dan kadar keilmuannya sudah sampai level mujtahid mutlak, yaitu jumhur (mayoritas) ulama, baik dari mazhab Al-Hanafiyah, sebagian kalangan mazhab Al-Malikiyah, mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanabilah telah berijma’ bahwa shalat tarawih itu berjumlah 20 rakaat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan di dalam kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
فَإِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِنْدِنَا

Dan shalat tarawih itu 20 rakaat di luar witir menurut pendapat kami.[1]

Al-Kasani (w. 587 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Badai’Ash-Shana’i’ fi Tartib Asy-Syarai' sebagai berikut :
وَأَمَّا قَدْرُهَا فَعِشْرُونَ رَكْعَةً فِي عَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي خَمْسِ تَرْوِيحَاتٍ كُلُّ تَسْلِيمَتَيْنِ تَرْوِيحَةٌ وَهَذَا قَوْلُ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ

Adapun jumlahnya 20 rakaat dengan 10 salam dan 5 kali istirahat. Tiap dua kali salam ada istirahat. Demikian pendapat kebanyakan ulama. [2]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah mengatakan di dalam kitabnya Raddul Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar atau lebih dikenal dengan nama Hasyiatu Ibnu Abdin bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah amalan yang dikerjakan oleh seluruh umat baik di barat maupun di timur.
قَوْلُهُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا

Dan tarawih itu 20 rakaat adalah pendapat jumhur dan itulah yang diamalkan orang-orang baik di Timur ataupun di Barat. [3]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah pada umumnya menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Selain itu juga ada pendapat yang menyebutkan 36 rakaat.

Ad-Dardir (w. 1201 H) yang merupakan salah satu ulama di dalam mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Asy-Syarhu Ash-Shaghir, menuliskan sebagai berikut :
والتراويح برمضان وهي عشرون ركعة بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر

Dan shalat Tarawih di Ramadhan 20 rakaat setelah shalat Isya', dengan salam tiap dua rakaat, di luar shalat syafa' dan witir.[4]

An-Nafarawi (w. 1126 H) yang juga ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Ibni Abi Zaid Al-Qairuwani sebagai berikut :
(وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضى الله عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضى الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركع ) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار

Para salafusshalih yaitu para shahabat radhiyallahuanhum menjalankan di masa khilafah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhum atas perintahnya di dalam masjid sebanyak 20 rakaat. Dan itulah pilihan Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Ahmad, serta yang dijalankan sekarang di seluruh dunia. [5]

3. Mazhab As-Syafi'iyah

Semua ulama mazhab Asy-Syafi'iyah kompak menyebutkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat.

Al-Mawardi (w. 450 H) salah satu ulama terdahulu dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi mazhabi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :
فالذي أختار عشرون ركعةً خمس ترويحات كل ترويحة شفعين كل شفع ركعتين بسلام ثمّ يوتر بثلاث؛ لأنّ عمر بن الخطّاب رضي اللّه عنه جمع النّاس على أبيّ بن كعب فكان يصلّي بهم عشرين ركعةً جرى به العمل وعليه النّاس بمكّة

Yang saya pilih 20 rakaat dengan 5 kali istirahat. Setiap sekali istirahat diselingi 2 kali shalat, tiap satu shalat terdiri dari 2 rakat dengan satu salam. Kemudian witir tiga rakaat. Karena Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengumpulkan orang bermakmum kepada Ubay bin Ka'ab, dan Ubay mengimami dengan 20 rakaat. Dan itulah yang selalu dilakukan dan yang dilaksanakan orang-orang di Mekkah. [6]

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليماتٍ

Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma' ulama. Dan menurut mazhab kami jumlahnya 20 rakaat dengan 10 kali salam. [7]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) salah satu ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya, Asna Al-Mathalib fi Syarhi Raudhati Ath-Thalib sebagai berikut :
وهي عشرُون ركعة بعشر تسليمات في كلّ ليلة من رمضان

Dan (tarawih) itu 20 rakaat dengan 10 salam dilakukan tiap malam bulan Ramadhan. [8]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Al-Khiraqi (w. 334 H) menuliskan dalam kitab Matan Al-Khiraqi 'ala Mazhabi Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani atau yang lebih dikenal dengan nama Mukhtashar Al-Khiraqi sebagai berikut :
وقيام شهر رمضان عشرون ركعة والله أعلم

Dan qiyamu Ramadhan 20 rakaat wallahua'lam. [9]

Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
وقِيامُ شهْرِ رمضان عِشْرُون ركْعة يعْنِي صلاة التراوِيح وهي سنّة مُؤكدة وأولُ منْ سنّها رسُولُ اللهِ

Dan qiyam bulan Ramadhan 20 rakaat yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW. [10]

Al-Buhuti (w. 1051 H) sebagai salah satu dari ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya, Ar-Raudh Al-Murabba' Syarah Zad Al-Mustaqni' sebagai berikut :
(والتراويح) سنة مؤكدة سميت بذلك لأنهم يصلون أربع ركعات ويتروحون ساعة أي: يستريحون (عشرون ركعة) لما روى أبو بكر عبد العزيز في الشافي عن ابن عباس: «أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كان يصلي في شهر رمضان عشرين ركعة» (تفعل) ركعتين ركعتين (في جماعة مع الوتر) بالمسجد أول الليل (بعد العشاء)

Dan tarawih hukumnya sunnah muakkadah, dinamakan tarawih karena mereka beristirahat sejenak tiap 4 rakaat. Jumlah 20 rakaat sebagaimana riwayat Abu Bakar Abdul Aziz di dalam Asy-Syafi dari Ibni Abbas bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat. Dikerjakan dua rakaat dua rakaat dengan berjamaah ditambah witir di masjid pada awal malam setelah shalat Isya'. [11]

5. Boleh Berapa Saja

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) di dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra menuliskan sebagai berikut :
ما أن نفس قيام رمضان لم يوقت النبي - صلى الله عليه وسلم - فيه عددا معينا؛ بل كان هو - صلى الله عليه وسلم - لا يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة لكن كان يطيل الركعات.

فلما جمعهم عمر على أبي بن كعب كان يصلي بهم عشرين ركعة، ثم يوتر بثلاث وكان يخف القراءة بقدر ما زاد من الركعات لأن ذلك أخف على المأمومين من تطويل الركعة الواحدة.

ثم كان طائفةٌ من السلف يقومون بأربعين ركعة ويوترون بثلاث وآخرون قاموا بست وثلاثين وأوتروا بثلاث وهذا كله سائغٌ.

فكيفما قام في رمضان من هذه الوجوه فقد أحسن

Adapun qiyam Ramadhan, Rasulullah SAW tidak membatasi jumlah rakaatnya. Namun beliau tidak menambahi atau mengurangi dari 13 rakaat hanya saja beliau memanjangkan rakaatnya.

Tatkala Umar mengumpulkan orang shalat di belakang Ubay bin Kaab, beliau mengerjakan 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Beliau meringankan bacaan sekedar lebih dari beberapa rakaat, dan menjadi lebih ringan bagi makmum ketimbang satu rakaat yang panjang.

Dan sebagian salah ada yang menjalankan dengan 40 rakaat dan witir 3 rakaat. Sebagian lainnya 36 rakaat dan witir 3 rakaat.

Semuanya boleh dan bagaimanapun bentuk qiyam Ramadhan dari cara-cara ini semua baik. [12]

Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi
Melihat pendapat mazhab Al-Hanabilah yang juga menetapkan 20 rakaat untuk tarawih, maka wajar kalau kita mendapat baik Masjid Al-Haram di Mekkah ataupun masjid An-Nabawi di Madinah Al-Munawwarah sampai kini masih menerapkan shalat tarawih dengan 20 rakaat, sebagaimana disaksikan dan dikerjakan oleh semua jamaah umrah Ramadhan secara langsung.

Yang menarik bahwa pendiri perserikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, semasa hidup beliau juga melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Hadhratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, juga melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat di masa hidupnya. [13] 

Tarawih 8 Rakaat
Adapun shalat tarawih 8 rakaat plus witir 3 rakaat, sepanjang hasil penelitian Penulis di berbagai kitab fiqih klasik dari empat mazhab, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan AL-Hanabilah, masih belum menampakkan hasilnya. Nampak para ulama salaf sepakat, bahkan dianggap oleh sebagian ulama sebagai ijma', tentang jumlah rakaat yang dua puluh. 

Pendapat yang merajihkan tarawih 8 rakaat baru kita dapat dari tokoh di akhir zaman, seperti Ash-Shan’ani (w.1182 H) di dalam kitabnya Subulussalam, Al-Mubarakfury (w. 1353 H) dan Al-Albani. 

Ash-Shan’ani dalam Subulus-salam sebenarnya tidak sampai mengatakan shalat tarawih hanya 8 rakaat, beliau hanya mengatakan bahwa shalat tarawih itu tidak dibatasi jumlahnya. 

Al-Mubarakfury memang lebih mengunggulkan shalat tarawih 8 rakat, tanpa menyalahkan pendapat yang 20 rakaat. 

Dalam hal ini memang harus diakhi bahwa yang paling ekstrim adalah pendapat Al-Albani. Menurutnya pendapatnya yang menyendiri dalam kitabnya, Risalah Tarawih, bahwa shalat tarawih yang lebih dari 8 plus witir 3 rakaat, sama saja dengan shalat Dzhuhur 5 rakaat. Selain tidak sah juga dianggap berdosa besar bila dikerjakan. 

Demikian sekelumit hasil penelitian dan tahqiq atas jumlah bilangan rakaat shalat tarawih berdasarkan kitab-kitab fiqih muktamad dari berbagai mazhab. Semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam bermusyawarah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar